Selasa, 10 Juli 2012

Kumpulan Hikmah Republika


SUJUD
Di antara sujud dan rukuk dalam shalat fardhu, akan kita dapatkan jumlah sujud jauh lebih banyak dua kali daripada rukuk. Begitu pula organ-organ tubuh yang menopang terciptanya kesempurnaan sujud, jelas lebih banyak.

Hal ini menegaskan kepada kita sebagai hamba Allah SWT bahwa dengan sujudlah seseorang dapat lebih memahami eksistensi diri yang tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah pula.

Di dalam Alquran, begitu banyak ayat yang menjelaskan bahwa makhluk yang ada di langit maupun di bumi seluruhnya bersujud dan bertasbih kepada Allah SWT. Bahkan, bayang-bayang pun bersujud. Padahal, secara kasat mata ia hanya dapat bergerak mengikuti benda aslinya.

Berkaitan dengan ini Allah SWT berfirman, ''Hanya kepada Allahlah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.'' (QS Arra'd [13]: 15).

Maka dari itu, sujud dalam shalat adalah sujud ibadah (penyembahan), dan merupakan salah satu dari rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Dengannya, Allah SWT mengajarkan kepada manusia satu-satunya bentuk pengagungan yang dikhususkan kepada yang Maha Agung (Al-Adziim), pemuliaan kepada yang Mahamulia (Alkariim), dan pendekatan kepada yang Maha Pencipta (Alkhaliq), serta pengakuan akan segala kelemahan dan keterbatasan yang melekat pada dirinya.

Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya sujud dengan cara memanjangkannya. ''Sesungguhnya waktu yang paling dekat dengan Allah SWT adalah di saat sujud, maka panjangkanlah sujudmu.''

Lalu, apakah sujud terhadap Nabi Adam yang Allah SWT perintahkan kepada para malaikat setelah penciptaannya sebagai khalifah merupakan sujud ibadah (penyembahan)? Tidak. Sujudnya para malaikat dan Iblis terhadap Nabi Adam dikategorikan sebagai sujud penghormatan.

Di samping itu, sujud juga dipahami sebagai salah satu sarana dan waktu yang utama untuk berdoa dan bermunajat. Saat sujud, seseorang dapat mengadu dan meminta hanya kepada Allah SWT semata, tanpa tendensi ingin dipuji oleh orang lain.

Imam Shadiq menegaskan dalam kitab Bihaarul Anwaar akan pentingnya waktu sujud demi terkabulnya doa. Beliau berkata, ''Hendaklah kalian berdoa di akhir-akhir shalat, sesungguhnya itu akan dikabulkan.''














Karya Terbaik
Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.'' (QS al-Mulk [67]: 2).

Di kalangan santri ada mahfudzat (kata-kata bijak), man jadda wa jada. Artinya kurang lebih, barang siapa bersungguh-sungguh meraih keinginannya, maka ia akan memperolehnya.

Kendati kata-kata bijak ini tumbuh subur di kalangan pesantren, namun sesungguhnya falsafah tersebut berlaku bagi siapa saja. Jika kita serius memperjuangkan sesuatu, termasuk serius dalam mencari nafkah, insya Allah kita akan memperoleh apa yang diharapkan itu.

Allah SWT berfirman yang artinya, ''Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian, akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.'' (An Najm [53]: 39-41).

Bekerja dengan sungguh-sungguh tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga diperlukan kerja otak, kesiapan mental, dan strategi untuk mencapai tujuan. Tentu saja dengan menggunakan cara-cara yang dibenarkan oleh agama.

Bekerja dengan menjunjung tinggi integritas dan sportivitas. Bukan mengedepankan sifat culas dan beringas. Sebab, semua yang kita kerjakan akan dinilai dan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT.
Firman Allah yang artinya, ''Dan katakanlah: ''Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.'' (QS at-Taubah [9]: 105).

Karena itu, tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk bekerja asal-asalan. Tak ada alasan bagi kita untuk bermalasan. Sebab, sesungguhnya Allah SWT menguji kita, siapa di antara kita yang terbaik pekerjaannya.
Sebaliknya, setiap Muslim mesti menunjukkan karya terbaiknya dan serius untuk memperoleh apa yang dicita-citakan. Jika kedua hal ini sudah dilakukan, maka hasil terbaik akan diraihnya sebagaimana yang Allah janjikan.

Cendekiawan Muslim, Dr Yusuf al-Qaradhawi, dalam kitabnya Ibaadatu fii Islam (Ibadah dalam Islam) menyebutkan, setiap pekerjaan bisa menjadi wahana shalawat dan ladang jihad di jalan Allah jika memenuhi lima syarat.

Pertama, hendaknya pekerjaan itu ada dalam koridor syariat Islam. Kedua, harus disertai dengan niat yang baik. Niat seorang Muslim dalam bekerja adalah menjaga kehormatan dirinya, mencukupi kebutuhan keluarga, memberi manfaat bagi umat, dan memakmurkan bumi sebagaimana yang diperintahkan Allah.

Ketiga, bekerja dengan tekun dan sebaik-baiknya. Keempat, konsisten dalam berpegang pada ketentuan-ketentuan hukum Allah. Tidak berbuat zalim dan khianat. Kelima, pekerjaan itu tidak boleh melalaikannya dari mengingat Allah.











Manusiawi
Manusiawi artinya sesuai tabiat kemanusiaannya, tidak seperti hewan, tidak juga seperti tumbuhan. Kemanusiawian itulah yang membuat manusia istimewa, yaitu kemampuannya untuk berpikir.

Muslim berpikir sebelum bertindak, sehingga seharusnya akan ada tujuan pada setiap tindakan. Akan selalu ada pilihan dalam bertindak, memilih untuk melakukan atau tidak, memilih yang lebih baik atau lebih utama. Yang pasti, semua tindakan akan ada pertanggungjawaban di hadap an Allah SWT.

Sungguh, jika tindakan telah dilakukan, tak ada waktu untuk mengulang kembali, yang ada hanyalah penyesalan, jika tindakan itu adalah salah dalam pandangan agama. Seperti orangorang kafir yang menyesali hidupnya.

‘’Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah’.’‘ (QS Annabaa [78]: 40).

Setiap hari kita tidak lepas dari bertindak karena kehidupan manusia memang senantiasa berurusan dengan pemenuhan potensi hidup. Entah itu kebutuhan jasmani maupun naluri; mengagungkan Sang Khaliq, berkasih sayang, maupun menunjukkan diri.

Allah SWT sebagai Sang Pencipta tentu lebih mengerti tentang tabiat manusia. Agar manusia tetap sesuai dengan kemanusiawiannya, maka Allah SWT telah menggariskan ketentuan tentang tindakan-tindakan manusia itu.

Ketentuan-ketentuan Allah SWT tidaklah mengekang apalagi menghilangkan, tidak pula membebaskan sebebas-bebasnya, tapi mengarahkan secara tepat, sehingga manusia sesuai dengan fitrah kemanusiaannya. Ketentuan itu terdapat dalam akidah dan ibadah, akhlak, pakaian, urusan makan dan minum, kegiatan bermasyarakat, serta pemerintahan dan hukum.

Sudahkah semua tindakan kita sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari Allah SWT tersebut? Sudahkah kita menjadi manusiawi?

‘’Dan tidaklah patut bagi lakilaki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan me reka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.’‘ (QS Al-Ahzab [33]: 36).
















Giat saat fakir
Kefakiran harta sering diidentikkan dengan kehinaan. Karakter rendah diri, merasa tak berdaya, hingga menghinakan diri sendiri, sering menjangkiti mereka yang dilanda kefakiran. Akumulasi karakter itu akan mengempaskan pada jurang keputusasaan. Kegairahan untuk bangkit dan berjuang pun hilang. Langkah nyata menghindarkan diri dari keterpurukan pun tak akan kembali muncul.

Kegairahan hidup harus terpelihara, walau di tengah kefakiran. Kefakiran mesti menjadi daya pengungkit bagi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Perasaan hina karena kefakiran harus ditumbangkan, karena sangat tidak beralasan.Islam pun tidak mengenal perspektif demikian. Karena kehinaan bukan milik si fakir, tapi mereka yang tidak beriman dan tak menaati Allah SWT.

''Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.'' (QS Attaubah [9]: 63).Untuk menjaga kegairahan hidup, Islam memandang bahwa mereka yang fakir sebagai makhluk yang dicintai Allah SWT. Kefakiran bukanlah azab yang dilaknat, tapi ujian yang dapat mendatangkan kebaikan.

Seperti sabda Rasulullah SAW, ''Sesungguhnya makhluk yang paling dicintai oleh Allah adalah orang-orang yang fakir, karena makhluk yang paling dicintai Allah adalah para Nabi, maka Allah menguji mereka dengan kefakiran.''Rasulullah SAW pun bermunajat agar dimatikan bersama orang fakir. Seperti yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, ''Ya Allah, matikanlah aku sebagai orang yang fakir dan jangan matikan aku sebagai orang kaya. Kumpulkanlah aku nanti pada hari kiamat dalam rombongan orang-orang miskin.''

Sabda Rasulullah SAW itu bukan meninabobokan agar nyaman bersama kefakiran. Lalu, lari dari hidup yang berkecukupan. Namun, untuk mengembalikan harga diri dan kepercayaan diri, di tengah penghinaan dan pengucilan manusia yang menilai kemuliaan dari keberlimpahan harta.

Janji Allah SWT dan Rasulullah SAW yang selalu bersamanya, mencintainya, dan membelanya, hendaknya menjadi pemulih optimisme dalam mengarungi kefakiran.Ini juga menjadi modal untuk menggiatkan kemauan berusaha, bekerja lebih keras, juga kreatif. Seperti giatnya sahabat yang fakir di masa Rasulullah SAW saat berkompetisi dengan sahabat yang berharta dalam mengisi kehidupan, dengan karya-karya sesuai kemampuan mereka.

Tetap produktif, berkontribusi, dan tak membebani orang lain telah menjadi karakter mereka. Kefakiran bukanlah penghambat, tapi penyemangat untuk berebut kebaikan dan pahala di tengah keterbatasan. Karena di tengah keterbatasanlah, segalanya lebih dilipatgandakan oleh Allah Yang Mahakaya.














Dua syarat hidup tenang
'Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami adalah Allah', kemudian meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, 'Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih'.'' (QS Fushshilat [41]: 30).

Mungkinkah kita bisa benar-benar hidup tenang, sedangkan impitan ekonomi dan beban hidup terasa begitu berat? Jawabannya, ''Ya.'' Kita bisa hidup tenang, tanpa perlu merasa takut dan sedih, hanya dengan menjalankan dua syarat.Pertama, percaya kepada Allah SWT dengan sepenuh hati. Kedua, istiqamah dalam kebaikan. Demikianlah yang dijanjikan Allah SWT di dalam surat di atas.

Di dalam tafsirnya, Imam ar-Razi menjelaskan, ketenangan jiwa hanya bisa diraih dengan kebenaran hakiki dan amal saleh. Puncak kebenaran hakiki adalah mengenal Allah SWT. Sementara puncak amal saleh adalah istiqamah.Mengenal Allah SWT berarti mengetahui dan meyakini betul segala sifat dan nama baik (asmaul husna) yang dimiliki-Nya. Dengan demikian, seseorang tak akan lagi merasa khawatir dalam menghadapi hidup ini.

Sebab, ada Allah Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Pemberi Rezeki, Yang Maha Pemurah, yang telah menjamin makanan dan keamanannya. Dalam konteks ini berlaku prinsip pantulan bola, yaitu semakin keras bola dilemparkan, semakin keras pula bola itu memantul. Artinya, semakin besar keyakinan dan kepercayaan kita terhadap Kemahakuasaan dan Kemahamurahan Allah SWT, semakin besar pula kasih sayang dan kemurahan Allah SWT kepada kita.

Ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam hadis qudsi, ''Sesungguhnya Aku tergantung sangkaan hamba-Ku kepada-Ku.'' (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Setelah mengenal Allah SWT, yang dituntut kemudian adalah istiqamah. Imam ar-Razi menyebutkan, yang dimaksud istiqamah di sini adalah konsistensi melakukan amal saleh, baik itu di saat lapang maupun sulit.

Sebab, amal saleh tidak bergantung pada situasi atau kondisi tertentu. Kapan dan di manapun, seorang Muslim yang berharap ridha Allah SWT pasti akan melakukan amal saleh. Rasulullah SAW menegaskan, ''Amal saleh yang paling disukai oleh Allah adalah yang dilakukan terus-menerus sekalipun itu sedikit.'' (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, dll).

Bila seorang Muslim percaya kepada Allah SWT dengan sepenuh hati dan istiqamah dalam kebaikan, niscaya Allah SWT akan memberinya kehidupan tenang, berupa malaikat-malaikat yang turun membisikkan ke dalam hatinya kalimat penyemangat, ''Jangan khawatir dan bersedih hati. Sebab, akan banyak keajaiban yang pasti menghampiri.''














Optimisme di pagi hari
Rasulullah SAW bersabda, ''Tiada suatu hari bagi para hamba yang bangun pagi-pagi kecuali dua malaikat akan turun. Salah satu dari malaikat itu berkata, 'Ya Allah, berikanlah kepada orang yang bersedekah dengan pahalanya.' Malaikat yang kedua berkata, 'Ya Allah, berikanlah kerusakan pada orang yang kikir'.'' (HR Bukhari dari Abu Hurairah).

Hari terus berganti, roda kehidupan tak henti menggelinding. Manusia sebagai bagian dari alam yang terus bergerak ini, hendaknya bisa memanfaatkan momentum untuk mendapatkan kebaikan, dari hari ke hari.

Pagi hari mengawali denyut aktivitas manusia yang berbeda-beda. Manusia keluar dari rumah, menyebar di muka bumi, mencari penghidupan, dan meninggalkan sejenak keluarga di rumah. Wajah-wajah segar setelah beristirahat semalam mengiringi langkah yang optimistis.

Pagi selalu hadir dan itu berarti optimisme untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang mungkin didapatkan di hari kemarin. Dan, memang demikianlah manusia; harus senantiasa optimistis, seoptimistis pagi yang selalu menyapa.

Mengawali hari dengan niat baik dan dengan aktivitas yang baik adalah karakter yang seharusnya dimiliki oleh orang Mukmin. Sehingga, hari demi hari, kebaikanlah yang ia dapatkan. Tidak hanya kebaikan yang sifatnya materi, tetapi juga nonmateri.

Momentum pergantian hari dengan demikian justru menjadikannya semakin mulia di mata Allah SWT dan terhormat di mata manusia. Hasil yang didapatkannya pun bermanfaat buat dirinya dan keluarga serta lingkungan sekitar.

Pada hadis di atas, Rasulullah SAW mengungkapkan ada dua malaikat yang setiap pagi mendoakan manusia. Satu mendoakan kebaikan dan satunya lagi mendoakan keburukan.

Manusia yang memulai hari dengan baik (digambarkan dengan orang yang bersedekah) akan didoakan kebaikan oleh malaikat. Sementara manusia yang memulai hari dengan buruk (digambarkan dengan orang kikir) akan didoakan keburukan oleh malaikat lainnya.

Namun kerap kali, aktivitas manusia yang begitu padat membuatnya lupa untuk berniat melakukan kebaikan di pagi hari. Akibatnya, yang dihasilkan di hari itu pun hanya keuntungan yang sifatnya materi, kalau tidak malah kerugian karena sudah berniat buruk.

Rasulullah SAW, melalui hadis itu, mengingatkan kita untuk selalu mengawali hari dengan kebaikan. Awal yang baik akan menghasilkan akhir yang baik pula.














Sukses lahir dan batin
Suatu hari, Nabi SAW masuk ke masjid dan mendapati Abu Umamah berada di dalam. Nabi bertanya, ''Mengapa kau ada di sini padahal sekarang bukan waktu shalat?'' Abu Umamah menjawab, ''Aku sedih dan gundah karena banyak utang.''

Rasulullah kemudian berkata, ''Maukah aku ajarkan kalimat (doa) yang membuat Allah akan menghapuskan kesedihan dan melunasi utang-utangmu?'' ''Tentu,'' kata Abu Umamah.

Nabi menyarankan, ''Setiap pagi dan sore, ucapkanlah, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perasaan sedih dan gundah, sikap lemah dan malas, sikap pengecut dan bakhil, serta lilitan utang dan tekanan orang lain.''

Abu Umamah berkata, ''Aku lantas melakukan ajaran Nabi SAW, kemudian Allah menghapus kegundahanku dan melunasi utang-utangku.'' (HR Abu Daud). Melalui hadis di atas, sejatinya Nabi SAW sedang menyampaikan kiat-kiat kesuksesan. Walau redaksi hadis mengajarkan doa, makna yang terkandung memastikan keharusan bekerja untuk meraih kesuksesan.

Kita menemukan poin-poin berikut ini: ajaran memohon perlindungan dari kesedihan dan kegundahan (psikologis); kelemahan dan kemalasan (mental); sifat pengecut dan bakhil (sikap sosial); serta lilitan utang dan tekanan orang lain (sosial-politik).

Dalam teori motivasi apa pun, sasaran utama yang mesti diperbaiki adalah sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan. Ketidakberanian bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan di hadapan kondisi objektif adalah tanda sikap pengecut. Bagi pelaku bisnis seperti Abu Umamah, hampir tidak pernah bebas dari utang. Tetapi, utang haruslah rasional sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing.

Yang diajarkan oleh Nabi SAW di atas adalah berlindung dari lilitan utang (ghalabah al-dain) atau utang yang lebih besar dari kemampuan. Ketika utang lebih besar dari kemampuan dan yang bersangkutan tidak mampu membayar, pihak yang memberikan piutang akan menagih dan menekan dengan berbagai cara.

Dalam keadaan yang demikian, Rasulullah mengajak kita membangun jiwa yang ceria, mental yang kuat, keberanian, murah hati, serta bebas dari lilitan utang dan tekanan orang lain. Beliau juga menegaskan bahwa yang dibutuhkan untuk meraih hidup tenang dan bahagia adalah senantiasa bekerja keras dan berdoa.

Berdoa tanpa kerja adalah sikap manja yang tidak direstui oleh Islam. Kerja tanpa doa akan menjauhkan diri kita dari spiritualitas yang menenteramkan. Kerja dan doa adalah kunci meraih kesuksesan lahir dan batin.














Tobat pasti diterima
Oleh : H Moch Hisyam *)

Sebusuk apapun maksiat yang telah dilakukan, sebanyak apapun dosa yang telah diperbuat, bila manusia kembali kepada jalan Allah, maka Allah SWT akan menerima tobatnya. Bahkan terhadap orang yang kafir sekalipun, bila ia memeluk agama Islam, Allah akan mengampuni segala dosanya.

Pintu tobat senantiasa terbuka. Dan Allah SWT akan senantiasa menanti kedatangan hamba-Nya yang akan bertaubat. Namun demikian, tidak selamanya pintu tobat terbuka ada saatnya pintu tobat tertutup rapat.

Pintu tobat akan tertutup rapat pada dua keadaan; pertama, ketika nyawa manusia sudah berada di tenggorokan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung menerima tobat seseorang sebelum nyawanya sampai di tenggorokan.” (HR Tirmidzi)

Kedua, ketika matahari terbit dari tempat terbenamnya. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa bertobat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah menerima taubatnya." (HR Muslim)

Tertutupnya pintu tobat merupakan batas dimana penyesalan, permohonan ampun, perbuatan baik dan keimanan orang kafir tidak bermanfaat lagi, karena Allah SWT tidak menerimanya.

Allah SWT berfirman, “Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: "Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula)." (Q S Al-An’am [6]: 158)

Hal ini harus menjadi perhatian kita untuk tidak menunda-nunda untuk bertaubat, bila hal ini terjadi besar kemungkinan akan menenggelamkan kita pada kemaksiatan dan pada akhirnya akan menganggap baik bahkan bangga dengan kemaksiatan yang dilakukannya.

Selagi kita  hidup didunia, mari kita gunakan kesempatan ini untuk menyikapi adanya penutupan pintu taubat ini dengan cara: Pertama, bersegera melakukan taubat. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisa [4]: 17)

Kedua, bersegera melakukan berbagai macam kebaikan sebelum datangnya masa yang menyebabkan kita sulit untuk melakukan kebaikan. Rasulullah saw. bersabda, “Bersegeralah kalian untuk mengerjakan amal-amal saleh, karena akan terjadi berbagai fitnah yang menyerupai malam yang gelap gulita..” (HR Muslim dan Tirmidzi)

Ketiga, berusaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan takwa kita akan diberi kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah. (QS Al-Anfaal [8]: 29)


















Memikirkan aib sendiri
Oleh: Satria Nova***

Seringkali kita tidak sadar dengan kesalahan sendiri. Tapi justru kita paham betul dengan kesalahan orang lain. Seperti kata peribahasa, gajah dipelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak.

Mengapa diri ini selalu menyibukkan diri dengan membicarakan aib orang lain, sedangkan ‘aib besar yang ada di
depan mata tidak diperhatikan? Akhirnya diri ini pun sibuk menggunjing, membicarakan  aib saudaranya padahal ia tidak suka dibicarakan.

Jika dibanding-bandingkan diri kita dan orang yang digunjing, boleh jadi dia lebih mulia di sisi Allah. Demikianlah hati ini seringkali tersibukkan dengan hal yang sia-sia. Seharusnya,  aib kita sendiri yang lebih diperhatikan

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW pernah bertanya, "Tahukah kamu, apa itu ghibah?" Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR Muslim)

Adapun ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala di dalam Alquran surat Al Hujarat ayat 12, adalah seperti orang yang memakan bagkai saudaranya sendiri. Apakah kita mau seperti itu? T

Jika kita sudah tahu demikian tercelanya membicarakan  aib saudara kita –tanpa ada maslahat - maka sudah semestinya kita menjauhkan diri dari perbuatan tersebut.  Aib kita sebenarnya lebih banyak, dibanding  aib orang lain. Kita tentu lebih paham diri kita ketimbang orang lain bukan? Mari berinstropeksi, sebelum berkomentar yang tak kita tahu tentang orang lain.

*** Satria Nova adalah sahabat Republika Online, tinggal di Surabaya

























Karakter ummat
Oleh Mucharom Noor

Mengkaji Alquran ayat terakhir dari surah al-Fath [48] yaitu ayat ke-29, akan memberikan pemahaman kepada kita tentang dua hal penting, yaitu siapa sebenarnya Muhammad SAW, dan apa karakteristik umat Muhammad SAW. Siapakah Muhammad itu? Muhammad itu adalah utusan Allah (Muhammadurrasulullah). Jawaban Allah ini juga terdapat dalam surah al-Ahzab [33]: 40, Muhammad adalah utusan Allah dan penutup para Nabi (rasuulallah wa khaatama an-nabiyyiin).

Selanjutnya melalui ayat 29 dari surah al-Fath tersebut, Allah menginformasikan tentang empat karakteristik umat Muhammad SAW. Pertama, memiliki kualitas iman yang kokoh. "Dan orang-orang yang bersama dengan dia (Muhammad) bersikap keras terhadap orang-orang kafir". Hanya dengan iman yang  kokoh, orang Islam akan memiliki sikap tegas terhadap segala sifat, perilaku orang-orang kafir, dan menolak segala hal yang berlawanan dengan keimanan. Dengan kekuatan iman dan akhlak, Allah SWT melarang kita bersifat lemah dan selalu berdamai dengan orang kafir (QS Muhammad [47]: 35).

Kedua, penuh kasih sayang. "Tetapi berkasih sayang di antara mereka",  yaitu kasih sayang dalam persaudaraan yang dilandasi oleh ikatan iman yang hak, yaitu iman kepada seluruh rukun iman. Karakter ini juga dijelaskan Allah SWT; "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat."  (QS al-Hujurat [49] : 10).

Ketiga, tekun beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan. "Mereka rukuk dan sujud (shalat) mencari karunia Allah dan keridaan-Nya."  Ikhlas adalah ruh setiap ibadah dalam Islam, tanpa keikhlasan maka segala amal ibadah akan menjadi sia-sia. Imam Nawawi menjelaskan dengan baik, tiga bentuk ibadah yang masih bernilai ikhlas, yaitu ibadah yang dikerjakan dengan niat takut kepada siksa Allah SWT, mengharap pahala dari Allah SWT, dan yang utama adalah berniat untuk mensyukuri nikmat yang telah dianugrahkan Allah SWT.

Karakter keempat adalah selalu tampil dengan akhlak mulia. "Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud." Bekas itu bisa berarti efek, dampak, pengaruh atau buah dari suatu perbuatan tertentu. Sebagaimana firman Allah SWT: "… dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar …" (QS al-Ankabut [29]: 45). Buah dari shalat adalah lahirnya akhlak mulia, yaitu kemampuan menghindarkan diri dari  perbuatan keji dan munkar.

Karena itu, maka umat Muhammad SAW tidak cukup hanya memiliki keimanan yang kuat, rasa kasih sayang sesama Muslim dan ketekunan beribadah kepada Allah SWT semata. Umat Muhammad SAW mesti tampil dan berkarakter akhlak mulia, mulia lisannya, mulia pikirannya, mulia hatinya, dan mulia perilaku hidupnya sehari-hari, sebagai buah dari keimanan dan ibadahnya kepada Allah SWT.

Ketika karakter akhlak mulia telah menjadi panglima, maka kesuksesan dan kebahagiaan hidup menanti kita, dan Muhammad SAW telah membuktikannya. Bagaimana dengan kita umatnya? Wallahu a'lam.



















Makna hamdallah
Oleh: H Lukman Abdurrahman*)

Dalam keseharian sering kali kita mendengar ungkapan kalimat alhamdulillah, atau disebut hamdalah, diucapkan. Hal ini terutama untuk menyatakan perasaan bersyukur, penyelesaian suatu pekerjaan, kesembuhan dari suatu penyakit, jawaban terhadap pertanyaan tentang kabar, ungkapan terima kasih dan lain-lain. Apa sesungguhnya makna yang terkandung di dalam hamdalah tersebut?

Arti alhamdulillah pada dasarnya mengembalikan seluruh pujian kepada Allah SWT. Pujian apa pun yang terucap atau tergambarkan di alam ini, semuanya hanyalah milik Allah. Pujian yang sering dialamatkan kepada manusia, keindahan alam, keajaiban suatu kejadian dan sebagainya dalam konsep hamdalah menuju kepada Dzat Yang Satu.

Oleh karena itu tidak akan ada kesombongan yang ditampilkan, tidak akan ada kepongahan yang dipertontonkan oleh siapa pun yang merasa memiliki kelebihan di dalam dirinya, karena mereka sadar semua itu hanyalah property Allah. Yang wajar ditampilkan oleh kita manakala memperoleh pujian atau anugrah nikmat adalah mengucapkan kalimat alhamdulillah dengan sepenuh kesadaran akan maknanya.

Kaum cerdik pandai generasi terdahulu selalu memulai buku-buku karangannya dengan ungkapan alhamdulillah ini.  Demikian pula mereka mewajibkan kepada semua khaatib shalat Jumat untuk memulai khutbahnya dengan ungkapan ini berdasarkan contoh Nabi SAW.  Mereka tentunya juga ingin mencontoh Allah SWT dalam pembukaan kitab suci-Nya dengan kalimat alhamdulillah seperti termaktub di dalam surah Al-Faatihah.

Dalam kitab kuning Hasyiah Jauhar Tauhid karangan Imam Ibrahim Baijuri, disebutkan bahwa ungkapan alhamdulillah terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu puji qadiim (terdahulu) dan puji haadits (terkemudian). Puji qadiim terbagi dua lagi, yang pertama bahwa pujian itu adalah dari Al-Khaaliq kepada Al-Khaaliq.  Ini berarti bahwa ucapan hamdalah adalah  pujian Allah SWT kepada Diri-Nya sendiri, pujian ini pastilah milik Allah semata.  Contoh pujian ini misalnya seperti tercantum di dalam Alquran bahwa  “Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS Al-Hasyr 22) dan lain-lain.  Ayat-ayat tersebut menyatakan kemahaterpujian Allah di alam semesta ini.  Allah memuji Dzat-Nya sendiri adalah suatu kepantasan karena tiada ada yang menandingi-Nya.

Yang kedua hamdalah mengandung makna pujian dari  Al-Khaaliq kepada makhluk, yakni Allah SWT memuji makhluknya seperti pujian Allah kepada para nabi.  Salah satu contoh pujian ini dapat disimak di dalam Alquran surah Al-Qalam 4, dalam hal ini Allah memuji Nabi Muhammad SAW yakni “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Pujian ini pun sesungguhnya milik Allah, karena Dialah yang telah menganugerahi Nabi dengan akhlak yang sangat mulia.  Artinya keluhuran budi pekerti Nabi merupakan cerminan kemahaterpujian Allah jua.

Hamdalah mengandung makna pujian dari makhluk kepada Al-Khaaliq, yakni pujian-pujian makhluk, manusia khususnya, kepada Allah SWT.  Pujian ini pun pada hakikatnya adalah milik Allah jua. Dalam ibadah ritual sehari-hari seperti shalat, ibadah haji dan lain-lain sarat dengan puji-pujian kepada Allah. Bahkan dalam satu sabdanya, Nabi SAW memberikan petunjuk bahwa bagi siapa saja yang akan berdoa kepada Allah, hendaklah ia memanjatkan puji kepada-Nya dan membaca shalawat kepada Nabi lebih dahulu. Oleh karenanya kemudian dalam Ilmu Fiqh hal ini menjadi syarat perlu sebagai bagian dari etika berdoa.

Pujian itu bisa berasal dari makhluk kepada makhluk. Pujian ini pun pada hakikatnya adalah milik Allah.  Kekaguman kita kepada prestasi orang lain, binatang, tumbuh-tumbuhan adalah contoh-contoh pujian yang berasal dari makhluk ditujukan kepada makhluk juga.  Dalam keseharian, pujian jenis keempat ini yang paling sering kita dengar karena merupakan bumbu-bumbu kehidupan lingkungan manusia dan alam sekitarnya.

Ucapan alhamdulillah pada dasarnya merupakan ekspresi untuk memperkuat nilai-nilai ketauhidan dan menumbuhkan sikap kehambaan yang makin dalam, mestinya.  Wallaahu 'alam.























Rabu, 12 Oktober 2011 pukul 09:20:00
Qalbun Salim
Oleh Dr A Ilyas Ismail

Dalam salah satu doanya, Nabi Ibrahim AS memohon kepada Allah SWT agar tidak dihinakan pada hari kiamat. "Janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS al-Syu'ara [26]: 87-89).

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam doa Nabi Ibrahim ini. Pertama, kekhawatiran tentang azab akhirat. Sebagai Nabi, bahkan bapak nabi-nabi, dan bergelar "Khalil Allah" (kekasih Allah), Nabi Ibrahim masih khawatir kalau-kalau dihinakan oleh Allah pada hari Kiamat. Kekhawatiran semacam ini patut dicontoh.

Kedua, devaluasi nilai harta (kekayaan) dan keturunan (pengikut). Untuk ukuran duniawi, harta dan anak-anak, termasuk pengikut, merupakan variabel utama yang menentukan status dan strata sosial manusia. Di akhirat, keduanya menjadi tidak penting karena para malaikat sebagai "aparat Tuhan" tak mungkin "disuap" apalagi diteror.

Ketiga, kebersihan hati sebagai pangkal keselamatan di akhirat. Jaminan keselamatan hanya diberikan kepada orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih atau sehat (qalbun salim). Banyak pendapat dari para pakar, khususnya dari kalangan ahli tafsir, yang pada pokoknya berkisar pada tiga makna. Pertama, seperti dikemukakan Ibnu Katsir, juga al-Alusi, qalbun salim bermakna salamat al-qalb 'an al-syirk aw al-aqa'id al-fasidah (selamatnya hati dari syirik atau kepercayaan-kepercayaan yang sesat). Hati yang sehat berarti memiliki akidah yang benar, lurus, serta bebas dari segala bentuk kemusyrikan.

Kedua, qalbun salim berarti bersih dari penyakit-penyakit hati (salim min amradh al-qulub). Dalam permulaan surah al-Baqarah, dikemukakan tiga golongan manusia, yaitu orang-orang takwa (al-muttaqun), orang-orang kafir (al-kafirun), dan orang-orang munafik (al-munafiqun). Golongan yang disebut terakhir ini adalah orang-orang yang hatinya berpenyakit. "Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya." (QS al-Baqarah [2]: 10).

Ketiga, seperti badan yang sehat, hati yang sehat juga memiliki kesempurnaan dan kekuatan melakukan apa yang menjadi tugas dan fungsinya sesuai maksud penciptaan. Fungsi hati yang utama adalah mengenal Allah, yaitu iman dan takwa. "Al-taqwa ha-huna" (takwa itu di sini), dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali. (HR Baihaqi dari Abu Hurairah).

Tak bisa disangkal, hati yang sehat menjadi pangkal kebaikan dan pendorang amal saleh (ba`its li shalih al-a`mal). Di sini, hanya hati yang disebut sebagai pangkal keselamatan di akhirat, bukan anggota badan yang lain. Hal ini, menurut imam al-Razi, karena kalau hati sehat, seluruh anggota badan yang lain ikut sehat. Sebaliknya, kalau lidah (kata-kata) dan anggota badan lain (perbuatan) tak sehat, sudah bisa dipastikan hati tak sehat (berpenyakit).

Perawatan hati, seperti diajarkan para sufi, menjadi penting. Perawatan hati, seperti halnya perawatan fisik, memerlukan dokter spesial yang tidak lain adalah para ulama. Dokter yang satu ini, menurut Imam Ghazali, selain makin lama makin langka, sebagian dari mereka juga 'berpenyakit'. Maka, waspadalah








Deradikalisasi Koruptor

Oleh Fahmi Salim MA

Bangsa kita saat ini dililit dua problem besar: korupsi dan terorisme, atau kekerasan atas nama agama. Kedua-duanya, selain dinilai perbuatan fasad fil ardh (kerusakan di muka bumi), juga ironi bagi bangsa kita yang dikenal bermoral baik dan damai selama berabad-abad.

Seiring dengan kasus-kasus terorisme di Tanah Air sejak Bom Bali (2002) hingga kini, bangsa kita makin akrab dengan istilah deradikalisasi yang diusung pemerintah lewat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Deradikalisasi merupakan upaya menetralisasi paham radikal bagi mereka yang terlibat aksi terorisme dan para simpatisannya, serta anggota masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal melalui reedukasi dan resosialisasi serta menanamkan multikulturalisme.

Drama penangkapan pelaku teror yang sering ditampilkan media massa dan euforia kemarahan terhadap ideologi menyimpang yang ada dalam otak pelaku teror, sering melalaikan kita atas penanganan dan pemberantasan korupsi. Ada ketimpangan cukup besar dalam upaya aparat penegak hukum memberantas aksi terror dan korupsi. Biasanya vonis untuk kasus terorisme rata-rata di atas tujuh tahun penjara, hingga hukuman mati. Bandingkan dengan vonis untuk kasus korupsi yang mayoritas "hanya" diganjar dua-empat tahun penjara, dan bisa dapat remisi, serta tak ada hukuman mati buat koruptor.

Selain soal vonis yang ringan itu, tak ada program atau langkah serius dari aparat penegak hukum untuk menetralisasi dan membunuh keserakahan materi sebagai akar persoalan korupsi, seperti halnya program deradikalisasi untuk teroris dan simpatisannya.

Padahal, kedua-duanya, jika kita mau jujur, berdaya rusak yang tinggi bagi moral dan keadaban manusia yang universal. Jika ulama sering berdalil dengan Alquran bahwa, "Siapa saja yang membunuh satu jiwa bukan karena membunuh orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan dia telah membunuh semua manusia" (QS al-Maidah: 32). Untuk mengutuk aksi terror, ayat yang sama juga harus dipakai untuk mengutuk keras korupsi dan mendorong hukuman yang menjerakan secara efektif bagi para koruptor dan calon-calon koruptor.

Bukankah dengan korupsi seseorang telah merampas kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas umum dan memperkuat program pemberantasan kemiskinan yang melanda sebagian besar bangsa ini? Bukankah dengan hal tersebut, si koruptor telah membunuh dan menghilangkan kesempatan mayoritas anak bangsa untuk hidup lebih sejahtera dan masa depan yang lebih cerah?

Jika Densus 88 dan BNPT ditugasi memberantas terorisme dan program deradikalisasi, sudah sepantasnya KPK, selain mencegah dan menindak pidana korupsi, harus bekerja sama dengan kekuatan masyarakat madani di Tanah Air untuk melakukan deradikalisasi koruptor dengan langkah rehabilitasi akidah dan keimanan bahwa Allah Maha Pemberi Rezeki.

Tak perlu ada korupsi jika semua orang sadar bahwa rezekinya telah diatur secara adil oleh Allah. Juga perlu reedukasi akhlak bagi para penyelenggara negara, serta wacana pemiskinan koruptor, hukuman mati, dan penerapan pembuktian terbalik dalam kasus korupsi perlu segera diimplementasikan.





Antara Marah dan Murka

Oleh KH Tengku Zulkarnain

Salah satu ciri-ciri orang yang bertakwa adalah mereka yang mampu menahan ghaizh (marah). Ini disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 134. Dalam tafsir Imam Qurthubi dijelaskan, ghoizh itu artinya hampir mirip dengan ghadhab (marah). Namun, secara rasa bahasa, ghadhab tidaklah sama persis dengan ghaizh. Ghadhab adalah marah yang diwujudkan dengan anggota tubuh seseorang. Orang yang marah dalam pengertian ghadhab, mulutnya akan mengeluarkan kata-kata keji, kadang-kadang tangannya ikut menampar, memukul, atau membanting barang-barang yang ada di sekitarnya, sementara kakinya juga ikut bertindak. Arti yang paling tepat untuk kata ghadhab dalam bahasa Indonesia adalah murka.

Adapun ghaizh adalah marah yang terjadi pada diri seseorang, namun kemarahan itu hanya bergolak di dalam hati dan tidak mewujud pada anggota tubuhnya. Paling-paling wajahnya sedikit memerah atau matanya berkilat. Sementara tangan, kaki, dan lidahnya tidak mengeluarkan tindakan keji dan merugikan orang lain. Arti yang paling tepat untuk kata ghaizh itu adalah marah.

Diceritakan dalam banyak hadis bahwa Rasulullah SAW kalau marah tidak pernah menampakkan wujud pada diri Beliau hal-hal yang menyakiti orang lain atau merendahkan harga diri sendiri. "Pernah suatu hari beberapa orang Yahudi lewat di depan rumah Nabi. Saat itu Nabi sedang bersama Aisyah ra. Orang Yahudi itu memberikan salam dengan ucapan: "Assaamualaik!"(mati kena racunlah kamu). Nabi menjawab: "Alaikum" (Atasmu juga). Serta-merta Aisyah menjawab: "Waalaikum saam wal la'nah" (kamu semua mati kena racun dan kena laknat). Saat itu Nabi menasihati Aisyah bahwa Allah menyukai kasih sayang pada tiap sesuatu." (HR Bukhari dan Muslim).

Pada suatu hari, Maimun bin Mahran ra sedang duduk di rumahnya dan bersiap-siap untuk makan dengan para tamu. Tiba-tiba, budak wanitanya terpeleset dan wajah beliau tersiram kuah sup panas. Serta-merta beliau bangkit dan hendak memukul budaknya itu. Sang budak membaca ayat Alquran: "Orang bertakwa mampu menahan marah". Maimun menjawab, "Ya, aku menahan marahku." Kemudian, sang budak melanjutkan ayat tersebut: "Dan memaafkan kesalahan orang". Maimun menjawab, "Aku memaafkanmu karena Allah." Kemudian, budak itu menutup ayat tersebut: "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik". Maka, Maimun berkata, "Aku membebaskanmu karena Allah."

Allah menegaskan, orang bertakwa itu adalah mereka yang mampu menahan marah. Sementara sekarang ini, banyak di antara manusia yang justru tidak mampu menahan kemurkaan. Dalam perjalanan ke kantor saja, di tengah kemacetan lalu lintas, mulut keluar kata-kata layaknya kebun binatang. Belum lagi tawuran yang merajalela dan sudah hampir menghinggapi seluruh lapisan masyarakat. Semua itu adalah wujud ketidakmampuan menahan murka.

Jika menahan murka yang merusak dan menyakiti orang lain saja belum mampu, bagaimana dapat menahan marah? Padahal, orang bertakwa tidak diminta menahan murka, tetapi justru diminta untuk menahan marah yang jauh lebih sulit melakukannya. Dengan demikian, tampaknya kedudukan kita masih jauh dari level orang bertakwa. Wallahu a'lam.






Kuasai, Jangan Cintai
Oleh Dr Abdul Mannan

Kuasai, jangan cintai. Demi kianlah semestinya umat Islam memperlakukan dunia dan seisinya. Sebab, Islam bukan ajaran yang bersifat dikotomi. Di ma na untuk meraih rida Tuhan harus bersikap antidunia dan melulu meng isi waktu dengan ibadah ritual semata.

Justru Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk tampil ke gelanggang, mengatur dunia (menguasai) de ngan berpedoman dan berprinsip pada aturan main Tuhan (syariah). Seperti itulah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya.

Seperti kita ketahui dalam sejarah peradaban Islam, hampir semua sektor kehidupan dikuasai oleh umat Islam. Sebut saja sektor ekonomi, yang kini menjadi sektor utama dalam kehidupan kita. Beberapa saat setibanya di Kota Madinah, Abdurrahman bin Auf langsung menuju pasar dan berniaga di dalamnya.

Dalam beberapa tempo yang tidak begitu lama, Abdurrahman bin Auf telah menguasai pasar Madinah yang sebelumnya dikuasai oleh Yahudi. Artinya, dengan spirit iman, Abdurrahman bin Auf mampu menguasai sektor ekonomi yang dengan cara seperti itu, ia bisa berkontribusi harta dalam perjuangan jihad fisabilillah.

Akhirnya, Abdurrahman bin Auf menjadi saudagar yang sangat kaya pada zamannya. Sampai-sampai ia pernah berinfak kepada umat Islam sekitar tujuh ratus ekor unta beserta seluruh muatannya.

Namun, Abdurrahman bin Auf tidak sama dengan Tsa’la bah, yang jadi kufur karena dunia. Awalnya Tsa’labah hidup miskin, kemudian sukses dengan usaha ternak kambingnya, lalu menjadi angkuh dan sombong karena kekayaannya. Bahkan, ia berani menolak membayar zakat.

Beberapa abad sebelum Abdurrahman bin Auf, di zaman Nabi Musa hidup seorang saudagar yang sangat kaya raya, Qarun namanya. Kunci gudang harta kekayaannya saja memer lukan satu ekor unta untuk meng angkatnya.

Tetapi, Qarun bukan saudagar yang beriman, ia angkuh lagi sombong. Maka, ketika ia berbuat se perti itu dan menolak mengakui keberadaan Allah SWT yang Mahakaya, lalu mengklaim bahwa apa yang dimilikinya itu sebagai hasil murni kepandaiannya. Allah pun menenggelamkan Qarun ke dalam bumi beserta seluruh harta kekayaannya.

Dunia adalah sarana menuju akhirat. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi …” (QS 28: 77).

Jadi, Muslim yang baik adalah yang mampu menguasai dunia untuk agama dan akhiratnya. Bukan untuk diri dan keluarganya semata. Lihatlah bagaimana Rasulullah juga ahli dalam dunia bisnis dan niaga. Juga perhatikanlah bagaimana Sayidina Ali dalam perang, namun juga paling tekun dalam ibadah.

Perhatikan pula bagaimana para nabi yang lain juga ahli dalam bidang keduniaan. Nabi Daud ahli metalurgi, Nabi Nuh ahli perkapalan, Nabi Musa ahli peternakan, dan Nabi Isa ahli pengobatan serta Nabi Yusuf ahli perekonomian.

Semua ini menunjukkan bahwa umat Islam harus unggul di segala bidang dengan tetap menjadikan akhirat sebagai orientasi utama bukan dunia yang diutamakan, apalagi dikuasai untuk dicintai. Wallahu a'lam.




Melebur Dosa
Oleh Ustaz Samson Rahman

Suatu saat seorang ulama garda depan Bashrah mendapatkan seorang pemuda meminta resep mujarab pelebur dosa pada seorang dokter. Dan, dokter memerintahkannya untuk melakukan hal-hal berikut.

Ambillah akar pohon kefakiran pada Allah berikut akar tawadhu yang tulus dan ikhlas kepada Allah. Jadikan taubat sebagai campurannya, celupkan dalam wadah rida atas semua takdir Allah. Aduklah dengan adukan qanaah terhadap apa yang Allah berikan kepada kita. Masukkan dalam kuali takwa. Tuangkan ke dalamnya air rasa malu lalu didihkanlah dengan api cinta dan masukkan dalam adonan syukur serta keringkan dengan kipasan harap lalu minumlah dengan sendok pujian (hamdalah).

Banyak orang berlaku dosa dan durjana kepada Allah karena merasa cukup pada kemampuan dirinya seakan tak lagi butuh pada siapa pun, termasuk pada Sang Mahakaya. Dia beranggapan bahwa semua yang dia dapatkan adalah berkat hasil dari kekuatan pikirannya, kemumpunian ilmunya, dan kejernihan kalkulasinya. Inilah yang menimpa Qarun yang angkuh dengan harta yang dimilikinya yang kemudian Allah turunkan azab padanya dengan ditelannya dia oleh bumi yang tidak lagi suka pada kecongkakan yang dia pamerkan sehingga membuat bumi gerah.

Sumber dosa lainnya adalah ketidakridaan dengan apa yang Allah tetapkan pada dirinya. Bibirnya belepotan keluhan, bahkan gugatan kepada Allah mengapa Dia tidak memberikan yang "terbaik" menurut pandangan dan persepsinya.

Dia menyangka bahwa apa yang dia alami saat ini tidaklah tepat bagi dirinya. Lambat kembali kepada Allah adalah dosa kronis lainnya. Dosa mengendap karena kita suka menunda taubat yang seharusnya dipercepat.

Padahal Allah berfirman, "Tidakkah mereka mengetahui bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?" (QS at-Taubah : 104).

Rasa tidak puas dengan apa yang Allah karuniakan pada kita adalah penyakit jiwa kronis lain yang melahirkan buruk sangka kepada Allah. Volume syukur mengecil yang kemudian membuahkan ketamakan.

Ketakwaan akan semakin sarat makna saat pendorongnya adalah mahabbah cinta pada Allah dengan sepenuh jiwa yang tidak lagi berpikir untung rugi dalam menjalankan perintah-Nya. Semangat cinta yang membakar hatinya akan senantiasa menggerakkannya untuk senantiasa dekat merapat dan bergiat untuk merengkuh rida kasih-Nya, mereguk cawan rahmat-Nya. Rasa cintanya yang menggelegak pada Allah akan senantiasa membuat hidup lebih terasa dengan langkah pasti menuju Sang Kekasih. Cawan cintanya senantiasa tumpah ruah dengan air mata takwa, rida, qanaah, taubat, syukur, tawakal, dan sabar.

Ramuan mujarab ini selain menghapuskan dosa juga akan melonjakkan vitalitas keimanan dan akan meledakkan energi keislaman yang akhirnya mengokohkan akar ihsan kita. Selamat mencicipi ramuan mujarab pelebur dosa. Anda akan merasakan khasiatnya yang luar biasa.






Hikmah Bersinergi
Jumat, 14 Oktober 2011 08:14 WIB
Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

  
  
Dalam surah al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu sekalian pada kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan ....“

Ayat tersebut di atas secara tegas memerintahkan kepada orang yang beriman bahwa di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan, termasuk masalah politik, budaya, ekonomi, dan kepemimpinan, harus mengedepankan sinergi dan koordinasi (taawun). Karena, hanya dengan sinergilah permasalahan seberat dan sekompleks apa pun pasti dapat diselesaikan dengan baik. Sinergi inipun dapat memadukan berbagai macam potensi dan kekuatan, baik yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga terjadi saling mengisi dan saling memperkuat. Ibarat sebuah bangunan yang mampu berdiri dengan tegak ketika terjadi sinergi dan saling menopang yang harmonis antarberbagai unsur yang terdapat di dalamnya. Bahkan, bukan sekadar berdiri tegak, keindahan bangunan tersebut pun akan tampak dengan jelas.

Rasulullah SAW memberikan suatu ilustrasi bahwa mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling memperkuat. Al-mukmin lil-mukmin kal bunyaan al-waahid yasyuddu ba'duhum ba'dhon (HR Muslim).
Pernyataan Rasulullah SAW ini sejalan dengan firman Allah SWT pada QS ash-Shaff [61]: 4. “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang berjuang di jalan-Nya dalam keadaan berbaris rapi seperti sebuah bangunan yang kokoh.“

Hanya saja, sinergi dan koordi nasi ini akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas manakala dilandasi oleh dua hal yang utama, yaitu al-birr (kebaikan) dan takwa. Artinya, sinergi dan koordinasi haruslah pada hal-hal yang positif dan berguna bagi peningkatan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat. Tidak boleh sinergi ini dilandasi oleh dua hal yang buruk, yaitu dosa dan permusuhan. Tidak ada taawun dalam hal-hal yang destruktif, merugikan, dan membahayakan bagi kelangsungan hidup masyarakat.

Upaya membasmi tindakan korupsi yang dilakukan sekarang ini adalah termasuk kategori perbuatan baik dan takwa. Karena itu, semua lembaga utama yang mendapatkan tugas memberantas korupsi harus bekerja sama saling mendukung dan bukannya saling menafikan dan menjatuhkan.

KPK sebagai leading sector dalam pemberantasan korupsi harus didukung oleh semua penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan, bahkan termasuk DPR. Jika sinergi di bidang pemberantasan korupsi ini dilakukan secara bersama-sama dengan penuh kesungguhan, insya Allah, cepat atau lambat korupsi itu dapat dihilangkan sampai ke akar-akarnya. Baik melalui usaha penindakan secara tegas maupun melalui upaya pencegahan.

Karena itu, untuk memperkuat sinergi dalam pemberantasan korupsi ini, setiap lembaga tidak boleh mengedepankan egonya masing-masing. Tetapi, menyatu dalam visi dan misi yang sama, yaitu menyelamatkan bangsa dan negara yang kita cintai ini dari kehancuran akibat perbuatan korupsi yang akhirakhir ini semakin banyak terjadi.  















Bekal Menjadi Pemenang
Jumat, 18 November 2011 07:17 WIB
Oleh Dr A Ilyas Ismail

Pada era baru sekarang, kehidupan dirasakan semakin keras dan kompetitif hampir di segala bidang kehidupan. Kenyataan ini mengharuskan kita untuk mempertinggi kapasitas dan kapabilitas agar bisa eksis, survive, dan dalam persaingan yang sangat ketat itu kita harus jadi pemenang (be winner), bukan pecundang (
loser).

Mental sebagai pemenang ini, menurut Sayyid Qutub, harus menjadi watak dan karakter kaum Muslim. Iman yang kuat, perjuangan yang tak kenal lelah (jihad), tahan uji, dan kesabaran yang membaja (
shabrun wa tsabat), disertai penyerahan diri secara total kepada Allah semata (tawakkulun wa tawajjuhun ila Allahi wahdah), merupakan jalan kemenangan yang diajarkan Islam. (Ma`alim fi al-Thariq, 1978).

Dalam Alquran, kaum Muslim diingatkan agar memiliki kesiapan mental sebagai pemenang, memiliki rasa percaya diri (
self confidence) yang tinggi, dan tak boleh memelihara sikap keluh kesah (blaming) apalagi sindrom rendah diri. “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati. Padahal, kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS Ali Imran [3]: 139).

Untuk menjadi pemenang, selain memiliki ilmu (knowledge) dan keterampilan tinggi (
skillful), kita perlu membekali diri dengan empat kekuatan lain. Pertama, visi atau cita-cita yang tinggi (himmah aliyah). Perlu disadari bahwa manusia hanya sebesar visinya, tak lebih dari itu. Visi adalah kekuatan, karena menurut para ulama visi bisa merobohkan hambatan sebesar gunung sekali pun (himmat al-rijal tahdim al-jibal).

Kedua, keyakinan yang kuat (
strong believe) bahwa apa yang dicita-citakan akan menjadi kenyataan. Keyakinan juga penting, karena orang yang tidak yakin ia tak bisa melangkah lebih jauh. Keyakinan (conviction) berbeda dengan preferensi (kegemaran). Preferensi bisa ditawar-tawar (negotiable), sedangkan keyakinan tidak. Bagi para pejuang Islam, keyakinan di
sini termasuk keyakinan akan janji kemenangan dan pertolongan dari Allah. “Hai orang-orang Mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad [47]: 7).

Ketiga, keberanian (syaja`ah) dalam mencapai cita-cita (kemenangan). Keberanian, kata al-Ghazali, termasuk salah satu keutamaan (fadilah) yang menjadi pangkal kebaikan dan kemenangan. Tak ada keberhasilan tanpa keberanian, baik dalam soal agama maupun dunia. Keberhasilan hanya milik orang-orang yang berani. Yaitu, keberanian dalam mengambil keputusan serta membela dan mempertahankan apa yang diyakini sebagai kebenaran apa pun risikonya. (QS al-Maidah [5]: 54).

Keempat, mental dan karakter pemenang. Salah satu karakter pemenang adalah menjadi pelaku atau pemain player (fa`il) bukan penonton apalagi hanya objek tontonan (maf`ul). Sebab, hanya pemainlah yang berpeluang besar menjadi pemenang. Maka, perintah Alquran agar kita bersaing (QS al-Baqarah [2]: 148), bersikap profesional, ihsan dan itqan (QS an-Naml [27]: 88), hidup dan mati sebagai yang terbaik, dan the best (QS al-Mulk [67]: 2), semuanya merupakan pembelajaran agar kita memiliki mental dan karakter sebagai pemenang. Wallahu a`lam.
















Membangun Kecerdasan Qurani
Rabu, 15 Pebruari 2012 04:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Ir Fuad Rumi MS

Alquran adalah petunjuk hidup atau hudan yang diturunkan Allah untuk manusia. Sebagai petunjuk kehidupan, Allah tidak membatasi Alquran sebagai petunjuk peribadatan saja. Juga Alquran tidak hanya mengandung ayat-ayat hukum tentang halal, haram, makruh, atau mubah.

Ketika pertama kali diturunkan, yakni surah al-Alaq (1-5), Alquran justru meletakkan sebuah dasar yang amat penting bagi kehidupan manusia, yaitu ilmu pengetahuan. Membaca adalah langkah menuju ditemukannya ilmu pengetahuan, dan itulah perintah yang diturunkan Tuhan melalui wahyu yang pertama turun.

Dalam ayat pertama itu sekaligus terkandung petunjuk bagaimana manusia harus membaca, yakni iqra' bismi rabbika alladziy khalaq, bacalah denga nama Tuhanmu yang mencipta. Maknanya, dalam membaca objek bacaan apa saja, hendaknya berpijak pada tuntunan Allah SWT, bukan berdasarkan pikiran manusia belaka.

Masih dalam wahyu pertama turun itu, Alquran telah memberi isyarat objek bacaan yang amat penting, yaitu penciptaan manusia, khalaqa al min 'alaq, Dia mencipta manusia dari segumpal darah. Bagaimana kejelasannya lebih lanjut, maka manusia dipersilakan oleh Tuhan untuk membacanya (menelitinya) lebih jauh sehingga manusia menemukan ilmu pengetahuan tentang embriologi. Demikian sekadar sebuah contoh untuk menunjukkan bahwa Alquran petunjuk kehidupan manusia yang perlu terus digali kandungan maknanya.

Jika Alquran terus digali kandungan maknanya dan tidak hanya dibatasi atau berhenti pada masalah-masalah diniah (keagamaan) atau ubudiah (peribadatan) saja, maka Alquran potensial membuat umat Islam menjadi cerdas dalam memahami dan menyikapi persoalan apa saja dalam kehidupan ini. Jika kemampuan itu dimiliki, itulah yang dinamakan sebagai kecerdasan Qurani atau Quranic quotient.

Jadi, kecerdasan Qurani atau Quranic Quotient adalah kemampuan untuk memahami dan menyikapi sesuatu hal (keadaan, masalah) dengan perspektif Alquran.

Umat Islam akan bisa hidup benar-benar sesuai dengan tuntunan Alquran dalam menghadapi kemajuan zaman seperti apa pun bila memiliki dan menggunakan kecerdasan Qurani ini. Hanya saja, kenyataan menunjukkan bahwa dewasa ini umat Islam sendiri masih sangat awam dan kebanyakan jauh dari Alquran.

Dengan kenyataan tersebut, umat Islam harus digalakkan terus untuk dekat dengan Alquran dan dibimbing untuk bisa membacanya dengan baik dan memahami kandungan isinya. Sebab, itulah dasar bagi dibangunnya kecerdasan Qurani itu.

Konklusi yang kita ambil dari pemikiran ini ialah pentingnya dibangun dan ditumbuhkan kecerdasan Qurani itu. Kecerdasan Qurani harus dimulai sejak dini, yakni sejak anak-anak hingga terus berkelanjutan tanpa henti.

Seharusnyalah, kita umat Islam, tersentak dengan pertanyaan Allah SWT melalui surah Muhammad ayat 24 ini. “Apakah mereka tidak mentadabur Alquran, ataukah hati mereka telah tertutup?” Jangan sampai kita menjadi orang yang tertutup hatinya sehingga tidak mau mentadabur Alquran. Padahal, tanpa tadabur Alquran kita tidak mungkin memahami Alquran dan tidak memiliki kecerdasan Qurani.
Redaktur: Heri Ruslan








Hidup Bertawakal
Selasa, 13 Maret 2012 09:51 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Inami Gus'am

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS al-Maidah (5): 23). Di tengah bahtera kehidupan yang terus bergelombang dan tidak pernah surut dari berbagai problematikanya, kita perlu memiliki sebuah pegangan dan ‘navigasi’ yang mengantarkan kita pada pulau tujuan.

Sebagai insan Muslim hendaknya memiliki komitmen dan prinsip hidup. Apa pun lapangan usaha yang ditekuni, bidang keilmuan yang dikaji, maupun aspek kehidupan yang dijalani, setiap Muslim tetap berusaha dan berupaya. Kekuatan yang terpendam dalam setiap diri seorang Muslim ialah potensi besar yang dimiliki dan harus digali.

Memaksimalkan kemampuan diri mengarah pada upaya memaksimalkan ikhtiar kita. Inilah yang Allah sebutkan dalam QS ar-Ra’d ayat 11. Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah Ta’ala setelah melakukan usaha secara maksimal. Itu bermakna dalam hidup kita tidak ada suatu tindakan atau perbuatan yang tidak memiliki dasar yang jelas. Semua hal dilakukan karena adanya unsur perintah dan meninggalkan segala hal karena memang jelas adanya unsur larangan.

Memaknai tawakal diperlukan pemahaman bahwa terdapat ikatan yang kuat antara manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai Sang Pencipta. Ikatan yang berimplikasi pada adanya hubungan ini mestinya dijalin dengan baik oleh manusia. Dengan demikian, pada klimaks usaha yang dilakukan seseorang tetap saja kembali ke muara segala sesuatu, yaitu Allah. Pasrah secara total kepada-Nya.

Kita bersikap menerima dengan ikhlas atas segala yang diberikan Allah Ta’ala dari usaha yang dilakukan. Ini adalah kenyataan yang berat dalam hidup kita. Sebab, yang sering terjadi pada kita adalah selalu menanggapi hal-hal yang tidak mengenakkan dalam hidup kita dengan mengeluh. Kita betul-betul merasa berat ketika mendapat ujian dan cobaan yang, menurut kita, tidak mengenakkan karena cenderung merepotkan atau menyusahkan.

Kita perlu menyadari bahwa manusia tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang dikehendakinya. Yang diperbolehkan hanyalah rencana-rencana manusiawi. Meski demikian, sesegera mungkin kembali menyadari bahwa segala yang terjadi merupakan kewenangan Allah Ta’ala. Alquran menyebutkan dengan tegas dan jelas, “Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS al-Ahzab (33):38).

Tawakal perlu dipupuk, diutamakan, dan diperjuangkan. Karena sedemikian pentingnya tawakal dalam hidup, hingga kita perlu mengetahui bagaimana cara bertawakal, yaitu merasa cukup terhadap apa yang didapat dan dimiliki, tetap meningkatkan usaha agar lebih baik, membiasakan bersyukur kepada Allah atas pemberian-Nya, mengawali pekerjaan dengan niat ibadah, menyadari bahwa manusia memiliki banyak kekurangan, dan menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan Allah setelah melakukan ikhtiar/usaha.
Obat yang paling mujarab untuk mengatasi berbagai masalah hidup adalah membiasakan diri bertawakal kepada Allah Ta’ala. Dalam kehidupan kita, tawakal berfungsi mengurangi tekanan batin/jiwa, terhindar dari kecewa dan stres berat, juga meringankan langkah dalam menjalani hidup sehari-hari. Kita adalah manusia. Kewajiban kita adalah berusaha. Masalah keputusan—berhasil atau gagal—tetap di tangan Allah Ta’ala. Dia Yang Mahakuasa akan memutuskan sebatas yang dikehendaki sesuai dengan usaha yang dilakukan manusia






Pengendalian Diri
Senin, 12 Maret 2012 11:37 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Cucu Surahman MA

Memperhatikan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, di mana seringnya dikabarkan bentrokan massa, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, sampai pada kabar kecelakaan kendaraan bermotor, patutlah kita merenung sejenak. Mengapa hal ini bisa terjadi di tengah masyarakat kita? Sudah tidak adakah kontrol diri di dalam pribadi masing-masing bangsa ini?

Mempertanyakan akan pengendalian diri adalah hal yang sangat penting, mengingat hanya dengan ada pengendalian dirilah seseorang akan dapat mengendalikan hati, pikiran, jiwa, dan raganya sehingga ia akan senantiasa berada dalam keselamatan dan kedamaian. Dan sebaliknya, tanpa adanya pengendalian diri maka seseorang akan mudah terjatuh ke dalam segala bentuk kecelakaan dan kehinaan.

Dalam Islam, derajat tertinggi manusia itu muttaqun (orang yang bertakwa). Kata takwa sendiri dalam arti bahasa adalah wiqayah al-nafs (penjagaan diri), yaitu pengendalian diri dari segala hal yang mencelakakan dan menjerumuskan.

Hal ini tecermin dari satu riwayat yang menceritakan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Khatab ra bertanya kepada sahabat Ubai Ibnu Ka'ab ra tentang takwa. Maka, berkatalah Ubai kepada Umar, “Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?”

“Ya, Pernah,” jawab Umar.

Ubai bertanya lagi, “Apa yang Anda lakukan saat itu?”

Umar menjawab, “Saya akan berjalan dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati sekali agar tak terkena duri itu.”

Lalu Ubai berkata, “Itulah takwa,” (Riwayat Ibn Katsir).

Allah SWT memang memberikan dua potensi kepada jiwa manusia, yaitu potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk berbuat jahat. Orang yang beruntung dan selamat adalah orang yang mampu menyucikan dirinya dari potensi jahat tersebut. Dalam arti lain, orang tersebut mampu mengendalikan dan menjaga dirinya dari segala macam godaan dan tipu daya setan.

Sebaliknya, sungguh merugi dan celakalah orang yang tidak bisa melepaskan diri dari potensi buruknya dan justru malah mengotorinya dengan berbagai macam dosa dan maksiat. Allah SWT berfirman, “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS al-Syams: 7-10).

Bentuk-bentuk kejadian yang disebutkan di atas adalah gambaran dari tidak adanya pengendalian diri dari para pelakunya. Seseorang tidak mungkin akan tega menganiaya, memperkosa, atau membunuh orang lain, apa pun alasannya, kalau dia masih bisa mengendalikan dirinya. Dan, ingatlah menahan amarah, memaafkan orang lain, dan berbuat kebaikan di muka bumi adalah ciri orang yang bertakwa dan imbalannya adalah ampunan dan surga-Nya (QS Ali Imran: 133-134).
Redaktur: Heri Ruslan







Inilah Keistimewaan Bersedekah
Jumat, 23 Maret 2012 06:58 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

“Allah menganugerahkannya kepada orang yang berkata baik, bersedekah, berpuasa, dan shalat di kala kebanyakan manusia tidur.” (HR.At-Tirmidzi)


Salah satu ibadah yang dianjurkan Allah SWT adalah bersedekah, baik dikala lapang maupun dikala sempit. Sebab sedekah adalah amal kebaikan sebagaimana al-Quran surah al-A’raf ayat 16 khusus amalan sedekah dilipatkan-gandakan lagi sesuai kehendak Allah, yang kemudian ditambah lagi mendapatkan berbagai keutamaan sedekah.

Marilah kita baca hadis Rasulullah SAW; “Sesungguhnya Allah swt itu Maha Memberi , Ia mencintai pemurah  serta akhlak yang mulia, Ia membenci akhlak yang buruk.” (HR. al-Baihaqi)

Hadis di atas juga kita bisa petik hikmahnya bahwa Islam sangat membenci sifat pelit dan bakhil dan sifat suka meminta-minta. Tetapi sebaliknya seorang mukmin itu banyak memberi dan pemurah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.”  (HR. Bukhari)

Kita sudah tidak membantah lagi tentang keistimewaan ibadah sedekah. Sejumlah cendekiawan dan ulama muslim mengatakan bahwa terdapat ratusan dalil yang menegaskan bahwa Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda dan memuliakan kaum yang bersedekah.

Mengutip kitab yang berjudul Al Inaafah Fimaa Ja’a Fis Shadaqah Wad Dhiyaafah, terdapat keutamaan bersedekah antara lain:

Pertama, sedekah dapat menghapus dosa. Pernyataan ini diperkuat dengan dalil hadist Rasulullah saw, “Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi, 614).

Pengampunan dosa ini tentu saja disertai taubat sepenuh hati, dan tidak kembali melakukan perbuatan-perbuatan tercela serta terhina seperti sengaja bermaksiat, seperti korupsi, memakan riba, mencuri, berbuat curang, atau mengambil harta anak yatim.

Kedua, bersedekah memberikan keberkahan pada harta yang kita miliki. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah saw yang berbunyi, “Harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dan seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya.” (HR. Muslim).

Ketiga, Allah melipatgandakan pahala orang yang bersedekah. Hal ini sebagaimana janji Allah SWT di dalam al-Quran. “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs; al-Hadid: 18)

Keempat, terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah. Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga.

“Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.”  (HR Bukhari).

Dan terakhir, orang yang sering bersedekah dapat membebaskan dari siksa kubur. Rasulullah saw bersabda, “Sedekah akan memadamkan api siksaan di dalam kubur.” (HR Thabrani)



Iman dan Amal Shaleh
Rabu, 07 Maret 2012 17:49 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ustaz Cucu Surahman MA

Sebagai agama yang sempurna, Islam sangat memperhatikan bukan hanya hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT secara vertikal, tetapi juga yang berhubungan dengan sesama manusia secara horizontal. Hal ini terlihat dari doktrin iman dan amal saleh.

Kedua konsep ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena apabila salah satu dari keduanya tiada maka kesempurnaan dari salah satunya akan berkurang. Iman tanpa amal itu hampa sedangkan amal tanpa iman itu percuma. Iman adalah fondasi sedangkan amal adalah implementasi.

Hal ini terlihat dari sabda Nabi SAW: “Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR. Ath-Thabrani).

Dalam hadis lain, Nabi bersabda; “Celaka orang yang banyak zikrullah dengan lidahnya tapi bermaksiat terhadap Allah dengan perbuatannya.” (HR. Ad-Dailami). Kesatuan konsep iman dan amal ini tergambar dari ayat-ayat Alquran. Di dalam Alquran, Allah SWT sering kali menggandengkan kata iman dengan amal saleh.

Seperti dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah [2]: 82).

Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR Muslim).

Hadis ini dengan jelas memperlihatkan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara iman dan amal. Apabila seseorang memiliki keimanan (kepada Allah dan hari kiamat) maka hendaklah ia beramal shaleh, dalam hal ini hendaklah ia berbuat baik kepada tetengganya, memuliakan tamunya, dan berkata baik atau diam.

Doktrin iman dan amal shaleh ini juga mencerminkan bahwa Islam bukan hanya mementingkan urusan pribadi (keshalehan individual) tetapi juga sangat peduli dengan urusan sosial (keshalehan sosial). Seorang manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang teguh imannya dan banyak amal salehnya.












Luasnya Dimensi Ibadah
Sabtu, 24 Maret 2012 05:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Makmun Nawawi

Diriwayatkan dari Abu Dzar ra, ia berkata, “Orang-orang berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Tetapi, mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka’.

Nabi bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dengannya engkau bisa bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah, dan bersetubuh (dengan istrinya) adalah sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami mendapatkan pahala sedangkan ia melampiaskan syahwatnya?’ Rasulullah bersabda, ‘Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada yang haram ia memperoleh dosa? Demikian pula jika ia menempatkan syahwatnya pada yang halal maka ia pun akan mendapatkan pahala’.” (HR Muslim).

Ketika kita diserbu oleh pesona iklan yang luar biasa dari banyak produk, impian pun melambung tinggi untuk segera memilikinya, seperti rumah, kendaraan, elektronik, atau perkakas rumah yang serbamewah. Ketika gaya hidup mewah sudah menyergap, korupsi menjadi mata pencaharian, maka banyak orang yang berada di bawah garis kemiskinan, hanya bisa gigit jari. Ada yang apatis, muak, jengah, namun tak urung ada pula yang terjerat dalam hayalan yang berkepanjangan.

Di tengah interaksi kehidupan Nabi dan para sahabatnya, bukan tidak ada orang yang kaya raya. Namun, bagaimana kekayaan yang mereka miliki justru dipersembahkan untuk sesuatu yang lebih agung, lebih luhur, dan abadi, yakni di jalan Allah. Sehingga, cita-cita dan obsesi para sahabat yang miskin yang melihatnya pun bukan untuk memiliki harta yang melimpah ruah, kendaraan yang mewah, istana yang megah, atau baju yang indah seperti mereka. Namun, bagaimana mereka juga bisa beramal seperti sahabat yang kaya demi kebahagiaan di akhirat. (QS al-A‘la: 16-17, dan adh-Dhuha: 4).

Hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa dimensi ibadah dalam Islam itu begitu luas. Bukan hanya sebatas harta, namun juga menjangkau banyak sisi kehidupan yang nyaris semua orang bisa melakukannya, tergantung lemah dan kuatnya niat. Jika tidak kuat secara materi maka bisa melalui fisik, pikiran, atau apa pun yang kita mampu. Bukankah tasbih, tahmid, dan tahlil nyaris tidak membutuhkan pengorbanan fisik dan materi sedikit pun dari pelakunya? Demikian pula amar makruf nahi mungkar.

Bahkan, ketika sepasang suami-istri menunaikan haknya masing-masing, di mana mereka bisa mereguk nikmatnya berkeluarga, justru di situ pun terbentang pahala. Karena, ketika hal itu disalurkan kepada yang haram maka pelakunya akan menuai dosa.
Demikian pula dengan perilaku seseorang ketika makan, minum, berbisnis, berjalan, belajar, bekerja, berbicara, menelepon, facebook-an, chatting, berinteraksi dengan sesama, dan aktivitas lainnya, semua itu tetap bernilai ibadah, sepanjang berada dalam koridor yang halal, menjalankan ketaatan, atau menghindari larangan. Karena itu, banyak ruang dan tempat untuk meraih keridaan Allah. Wallahu a‘lam bish-shawab.








Inilah Tiga Bentuk Kecerdasan Bersyukur
Rabu, 28 Maret 2012 18:49 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab

Nikmat dan karunia Allah yang diberikan kepada umat-Nya, termasuk kepada bangsa ini, sungguh tak terbatas dan tidak akan pernah bisa dihitung tuntas. Namun, hari demi hari, waktu demi waktu, tampaknya warga bangsa ini, termasuk para pemimpinnya, tidak kunjung cerdas dalam mensyukuri nikmat-Nya. Para pemimpin yang sudah bergelimang dengan fasilitas mewah ternyata masih mengeluh dan mengeluh.

Secara psikologis, orang yang mengeluh itu pertanda sedang menderita sakit. Orang yang banyak mengeluh itu pada dasarnya terkena gangguan mental. Sebaliknya, orang yang banyak bersyukur itu pertanda sedang dalam keadaan sehat. Karena itu, bersyukur itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sehat rohaninya.

Menurut Ibn al-Qayyim dalam kitabnya, Madarij as-Salikin, syukur itu tampak pada bibir hamba dengan mengakui dan memuji keagungan Tuhannya, dalam hatinya dengan semakin meyakini dan mencintai-Nya, dan pada anggota badannya dengan semakin tunduk, khusyuk, dan taat kepada-Nya.

Cerdas bersyukur ada tiga hal. Pertama, mengakui (i’tiraf) nikmat pemberian Allah dalam hatinya. Hati yang cerdas dan ikhlas tidak akan pernah berdusta terhadap segala anugerah yang diberikan oleh-Nya. Bersyukur harus dimulai dari kesucian hati untuk mengakui sifat Allah yang Maharahman dan Rahim. Melalui pengakuan tulus ini, hamba belajar menjadi pengasih dan penyayang serta tidak menyia-nyiakan kasih sayang-Nya.

Kedua, memuji Sang Pemberi Nikmat (Mun’im) dan membagi pemberian itu dalam bentuk perkataan dan pembaruan (tahdits) maupun perbuatan dan keteladanan (QS ad-Dhuha [93]: 11). Bersyukur bukan sekadar mengucapkan alhamdulillah, melainkan juga harus disertai dengan pendayagunaan kenikmatan itu sesuai dengan tujuan diberikannya nikmat itu.

Ketiga, menundukkan kenikmatan (taskhir al-ni’am) untuk ketaatan, bukan untuk kemaksiatan. Diberi indera pendengaran disyukuri dengan selalu mendengarkan yang positif. Mata dimanfaatkan untuk melihat yang baik-baik. Akal dimanfaatkan untuk berpikir positif dan kreatif. Kesehatan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Diamanati jabatan sebagai pemimpin, bisa dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran.

Jadi, cerdas bersyukur itu membuahkan ketaatan sekaligus kenikmatan. “Melaksanakan shalat itu bersyukur, berpuasa juga bersyukur, dan melaksanakan segala kebaikan karena mengharap rida Allah adalah syukur. Syukur yang paling utama adalah memuji Sang Pemberi Nikmat.” (HR Ibnu Jarir).

Cerdas bersyukur merupakan salah satu kunci kesuksesan hidup. Orang yang bersyukur pasti berusaha menjadikan kualitas hidupnya meningkat atau menjadi lebih baik. (QS Ibrahim [14]: 7).

Orang yang bersyukur akan senantiasa melihat segala hal secara jernih, objektif, cerdas, dan penuh kebersyukuran sehingga hatinya tenang, tidak waswas, tidak merasa ada ancaman atau biasa-biasa saja. Jika salah satu Asma’ al-Husna itu as-syakur (Maha Bersyukur), sudah semestinya kita sebagai hamba-Nya lebih tahu diri lagi untuk banyak bersyukur atas kemurahan dan karunia-Nya. Wallahu a’lam
Redaktur: Heri Ruslan






Inilah Orang-orang yang Dihinakan Allah
Selasa, 27 Maret 2012 04:15 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Prof Dr Achmad Satori Ismail

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT bila mencintai hamba-Nya memanggil Jibril seraya berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.’” Rasulullah bersabda, “Maka, Jibril pun mencintai si fulan.” Lalu, Jibril menyeru semua penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan.” Nabi bersabda, “Maka, si fulan dicintai penduduk langit dan dia pun diterima oleh penduduk bumi.”

Jika Allah membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman, “Sesungguhnya Aku membenci si fulan, maka bencilah dia sehingga Jibril pun membencinya.” Rasulullah bersabda, “Lalu, Jibril menyeru penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah membenci si fulan, maka bencilah dia.’” Penduduk langit pun membenci si fulan, kemudian dia pun dibenci penduduk bumi. (HR Bukhari dan Muslim).

Orang yang sengsara adalah yang dihinakan Allah sehingga penduduk bumi pun akan membicarakan orang tersebut dengan kejelekan dan cercaan. “Dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS al-Hajj 18).

Rasulullah SAW sering berdoa agar tidak dihinakan Allah, “Ya Allah berilah tambahan kebaikan dan jangan Engkau kurangi, muliakan kami, dan jangan Engkau hinakan. Berilah anugerah kepada kami dan jangan kaucegah. Prioritaskan kami dan jangan ditinggalkan. Ridailah kami dan berikan  keridaan kepada kami.” (HR Achmad dan Turmudzi).

Di antara bentuk kehinaan yang ditimpakan Allah di dunia adalah kehinaan hidup, ditimpakan kekalahan dalam persaingan, dan disesatkan dari jalan Allah. Sedangkan, kehinaan pada hari kiamat adalah ditutup matanya dari melihat Allah (QS Hud 105-107/al-Muthaffifiin 14-17).

Di antara orang-orang yang dihinakan, pertama, pelaku kemaksiatan (QS Ghofir 82). Al- Mu’tamir bin Sulaiman berkata, “Sesungguhnya seseorang yang melakukan dosa secara rahasia, maka pada pagi harinya akan ditimpakan kehinaan.” (Raudlatul Muhibbin, karya Ibnul Qoyyim, hlm 441).

Kedua, orang yang menentang ajaran Islam (QS az-Zumar 55-61 dan al-An’am 125). Umar RA berkata, “Kita dimuliakan Allah dengan Islam dan barang siapa yang mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka dia akan dihinakan.” (Ibnu Abdil Birr dalam kitab Al-Mujalasah wa Jawahiril Ilmi, juz II, hlm 273).

Ketiga, menolak kebenaran karena kesombongan (QS Shad 12-15, al-Haqqah 4-8). Hasan Bisri mengatakan, ada tiga macam manusia, yakni mukmin, munafik, dan kafir. Mukmin adalah orang yang menaati perintah Allah, kafir adalah yang dihinakan Allah, dan munafik adalah mereka yang tidak mengenal Allah, tapi dikenal keingkarannya dengan perbuatan-perbuatan jahat dan menampakkan kejauhan dirinya dari Allah (Al-Firyabi dalam kitab Shifatul Munafiq, hlm 61).

Keempat, sombong di hadapan makhluk (QS al-Qashash 83). Kelima, orang zalim (QS al-A’raf 165-166 , Yunus 13-14). Keenam, penghamba harta dan kedudukan (QS al-An’am 44). Rasulullah bersabda, “Celakalah penghamba dinar dan dirham.” (HR Bukhari).







Inilah Keistimewaan Bersedekah
Jumat, 23 Maret 2012 06:58 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

“Allah menganugerahkannya kepada orang yang berkata baik, bersedekah, berpuasa, dan shalat di kala kebanyakan manusia tidur.” (HR.At-Tirmidzi)


Salah satu ibadah yang dianjurkan Allah SWT adalah bersedekah, baik dikala lapang maupun dikala sempit. Sebab sedekah adalah amal kebaikan sebagaimana al-Quran surah al-A’raf ayat 16 khusus amalan sedekah dilipatkan-gandakan lagi sesuai kehendak Allah, yang kemudian ditambah lagi mendapatkan berbagai keutamaan sedekah.

Marilah kita baca hadis Rasulullah SAW; “Sesungguhnya Allah swt itu Maha Memberi , Ia mencintai pemurah  serta akhlak yang mulia, Ia membenci akhlak yang buruk.” (HR. al-Baihaqi)

Hadis di atas juga kita bisa petik hikmahnya bahwa Islam sangat membenci sifat pelit dan bakhil dan sifat suka meminta-minta. Tetapi sebaliknya seorang mukmin itu banyak memberi dan pemurah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.”  (HR. Bukhari)

Kita sudah tidak membantah lagi tentang keistimewaan ibadah sedekah. Sejumlah cendekiawan dan ulama muslim mengatakan bahwa terdapat ratusan dalil yang menegaskan bahwa Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda dan memuliakan kaum yang bersedekah.

Mengutip kitab yang berjudul Al Inaafah Fimaa Ja’a Fis Shadaqah Wad Dhiyaafah, terdapat keutamaan bersedekah antara lain:

Pertama, sedekah dapat menghapus dosa. Pernyataan ini diperkuat dengan dalil hadist Rasulullah saw, “Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi, 614).

Pengampunan dosa ini tentu saja disertai taubat sepenuh hati, dan tidak kembali melakukan perbuatan-perbuatan tercela serta terhina seperti sengaja bermaksiat, seperti korupsi, memakan riba, mencuri, berbuat curang, atau mengambil harta anak yatim.

Kedua, bersedekah memberikan keberkahan pada harta yang kita miliki. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah saw yang berbunyi, “Harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dan seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya.” (HR. Muslim).

Ketiga, Allah melipatgandakan pahala orang yang bersedekah. Hal ini sebagaimana janji Allah SWT di dalam al-Quran. “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs; al-Hadid: 18)

Keempat, terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah. Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga.

“Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.”  (HR Bukhari).

Dan terakhir, orang yang sering bersedekah dapat membebaskan dari siksa kubur. Rasulullah saw bersabda, “Sedekah akan memadamkan api siksaan di dalam kubur.” (HR Thabrani)



Zammilunie...''
Kamis, 15 Maret 2012 22:35 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Rizqo Kamil Ibrahim *

"Zammilunie, zammilunie! (Selimutilah aku, selimutilah aku)," pinta Rasululullah  SAW kepada sang kekasih Khadijah binti Khuwailid.

Adrenalin yang tidak karuan, ketakutan yang amat sangat, serta gundah-gulana mendera manusia ma'sum yang perkataannya adalah hujjah, Muhammad SAW, tak lama setelah mendapat wahyu dari Allah melalui perantara Malaikat Jibril di Gua Hira.

"Fa zammaluhu hatta dzahaba 'anhu arrou 'u", maka Khadijah segera menyelimuti Rasulullah SAW sampai ketakutannya itu hilang. Betapa salehahnya sang istri menyelimuti suaminya dengan segala kelembutan dan kasih sayang.

Terdapat pelajaran yang menarik dari kalimat di atas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari itu, bahwasanya ketakutan dapat diringankan bahkan dihilangkan dengan berselimut.

"Laqod Khosyitu 'ala nafsie, (Sungguh,aku menghawatirkan diriku (akan binasa)," ujar Nabi SAW kepada Khadijah. Dan simaklah bagaimana perkataan seorang wanita salehah yang diciptakan untuk pria yang saleh itu.
"Kalla! wa llahi ma yukhzika 'llah abadan! (Sekali-kali tidak! Demi Allah! Allah tidak akan merendahkanmu selamanya," ujar Khadijah.

"Sungguh engkau telah menyambungkan tali persaudaraan, engkau telah memikul beban orang lain, engkau suka mengusahakan keperluan orang yang tak punya, menjamu tamu dan senantiasa membela kebenaran," tutur Khadijah.

"Ma ajmala hadza alkalam!" Betapa indahnya perkataan ini, motivasi yang menghidupkan hati-hati yang layu, membangkitkan derap langkah yang sempat terhenti,l antas  adakah yang lebih indah dari senyuman dan motivasi sang istri dikala gundah?  Dan itulah yang dicontohkan oleh wanita salehah yaitu  Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW yang merupakan sohabiyat (sahabat dari kalangan perempuan)

Para suami bukanlah seorang yang selalu teguh di setiap saat. Ada kalanya saat kelemahan, kelesuan nan gundah melanda, karena begitulah manusia. Berita PHK, dagangan yang kurang laku di pagi hari, penumpang yang tak kunjung datang , marahnya atasan, bawahan yang kurang baik, karya yang tidak dihargai, dakwah haq yang dimusuhi dan pelbagai masalah kerap membuat kepulangan di sore hari menuju rumah dibarengi dengan dagu yang tunduk, ditambah suasana hati yang tidak karuan.

Lantas adakah Khadijah–Khadijah di era globalisasi ini yang akan menenangkan suaminya dengan kata-kata indahnya? Ataukah yang ada hanya ucapan, "suami payah", "begitu saja tidak bisa", atau kata  "bodoh", yang akan menyambut hati suami yang galau?

Tentu saja ada. Dan selalu akan ada. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Akan sentiasa ada satu golongan (kelompok) dari umatku yang muncul terang-terangan di atas kebenaran, tidak membahayakan orang-orang yang bermusuhan kepada mereka sehingga tiba urusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian”. (H/R Bukhari, 6/632. Muslim, 3/1523)

Dan tentulah yang mendapatkan Istri yang berjalan di atas sunnah (jalan) nabi adalah para suami yang berjalan di atasnya pula. Begitu pula sebaliknya. Suami yang baik akan didapat oleh wanita yang baik.

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)." (QS An-Nurr: 26)
 


Kunci Perubahan
Kamis, 08 Maret 2012 04:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhtadi Kadi

Syekh Muhammad Ghazali, ulama dan pemikir Islam asal Mesir, mengatakan, “Sesungguhnya rasa aman, damai, dan sejahtera adalah kekuatan yang memberikan cahaya kepada akal untuk berpikir dengan tenang dan kontinu. Karena terkadang, pemikiran tersebut mampu mengubah perjalanan sejarah.”

Banyak orang yang berasumsi bahwa mereka akan sukses dalam hidup ini atau nasib hidupnya akan berubah lebih baik jika ia pindah dari tempat tinggalnya. Artinya, mereka mengikatkan kesuksesannya dengan perubahan tempat dan keadaan. Sungguh, asumsi tersebut adalah salah. Karena, sejatinya yang harus diubah adalah akal yang digelantungi pemikiran, bayangan kelam masa lalu, dan asumsi kekhawaritan masa depan. Selagi akal kita masih berpola pikir seperti itu, perubahan yang ada tidak memiliki pengaruh apa-apa.

“Kamu tidak akan pernah mampu menyelesaikan problematika yang ada selagi pola pikirmu tidak ada perubahan,” demikian petuah orang bijak. Dan, Allah SWT telah menegaskan kepada kita yang diabadikan di dalam Alquran bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum atau seseorang kecuali mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS ar-Ra’du [13]: 11).

Ini artinya, kunci perubahan hidup seseorang ke arah yang lebih baik terletak di dalam dirinya, bukan terletak pada tempat tinggal atau dalam lingkungan yang mengelilinginya. Karena manusia hanyalah produk pemikiran dan keyakinannya. Di samping itu, perilaku dan sikap seseorang bersumber dari akalnya.

Memang tidak dimungkiri bahwa perubahan lingkungan terkadang membawa sebuah kebaikan, tetapi hanya bersifat temporal atau kebetulan. Karena, perubahan ini hanya di permukaan tidak dari akarnya. Juga tak sedikit perubahan tempat hanya sebuah sikap pelarian dari berbagai rintangan serta tantangan dan menjauhi problematika yang ada.

Karena itu, kita mesti mengubah pola pikir dan keyakinan. Kita harus memakai baju keoptimisan dan kebulatan tekad serta husnudzan kepada Allah. Empaskan bayangan kelam masa lalu dan kekhawatiran pada masa depan dari jiwa. Kita harus mulai menghadapi arus kehidupan ini dengan hati yang besar dan akal yang jernih tanpa takut dengan kekalahan ataupun kegagalan. Bukankah di balik kegagalan ada pengalaman yang berharga, dan bukankah pengalaman itu guru yang paling baik?

Sungguh, orang yang tidak mampu mengubah pola pikirnya, maka dia tidak akan mampu mengubah sesuatu apa pun, kapan pun, dan di mana pun ia berada. Tongkat yang bengkok tak mungkin menghasilkan bayangan yang lurus. Hanya dari muara hati yang suci dan akal yang jernih yang melahirkan jiwa-jiwa jujur, tangguh, bertanggung jawab, dan siap melakukan pengorbanan apa pun demi kemaslahatan sesama.










REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
 


 “Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaaf [50]: 18)

Lidah tidak bertulang. Petatah itu menggambarkan bagaimana lidah bisa membawa si pemiliknya menuju pintu surga atau menuju pintu neraka. Bahaya yang ditimbulkan oleh lidah sangat besar, dan petaka yang bermula darinya juga luar biasa. Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Pernah memegang lidahnya sambil menangis dan berkata, “Inilah yang mendatangkan berbagai bencana padaku.”

Lidah memiliki banyak “penyakit” yang bisa membawa pemiliknya mendapatkan malapetakan seperti perkataan dusta, gosip, adu domba, perkataan kasar, mencela, perkataan kotor, kesaksian palsu, kata-kata laknat, cemoohan, merendahkan orang lain, dan sebagainya. Karena itu tidak aneh jika banyak perkataan yang menghantarkan pelakunya ke neraka, lantaran ia tidak bisa mengontrol lidahnya, dan membiarkan kata-katanya liar.

Lidah laksana binatang buas yang amat berbahaya, ular berbisa, dan api yang meluap-luap. Ibnu Abbas ra, pernah berkata kepada lidahnya sendiri, “Wahai lidah, katakanlah yang baik niscaya engkau akan meraih kebaikan. Atau diamlah, niscaya engkau akan selamat. Semoga Allah merahmati seorang muslim yang menahan lidahnya dari kehinaan, mengikatnya dari gosip, mencegahnya dari ucapan sia-sia, dan menahannya dari kata-kata yang diharamkan.”

Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada Mu’adz ra. sambil memegang lidah, “Tahanlah ini!” Mu’adz berkata, “Apakah kami akan disiksa karena apa yang kami ucapkan, wahai Rasulullah?” “Ibumu akan kehilangan dirimu wahai Muadz. Tidaklah wajah orang-orang itu dilemparkan ke dalam api neraka melainkan karena hasil perbuatan lidah mereka." (HR Tirmidzi dan Ahmad)

Namun begitu, lidah juga merupakan sarana menuju kebaikan dan bisa mengantarkan pemiliknya ke pintu surga. Maka, alangkah damainya orang yang senantiasa berzikir, memohon ampun, memuji, bertasbih, bersyukur, dan bertobat kepada Allah dengan lidahnya. Dan alangkah malangnya orang yang mengoyak kehormatan
manusia, menodai kesucian, serta mendongkel nilai-nilai kebenaran.

Semoga Allah merahmati orang yang berhati-hati dengan segala ucapannya, mengatur lirikan-lirikan matanya, menghaluskan tutur katanya, dan menimbang-nimbang dahulu apa yang akan diucapkan. Allah SWT berfirman, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qâf
[50]  : 18)

Dalam hadisnya, Rasulullah SAW juga selalu mengingatkan umatnya untuk selalu menjaga kehormatan lidahnya dalam berbicara. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang terletak di antara dua rahangnya (lidah), dan apa yang terletak di antara dua pahanya (kemaluan), maka aku akan menjamin untuknya surga.” HR Bukhari dari Sahl bin Sa’ad.

Patut kita sadari, melatih jiwa kita untuk selalu melaksanakan perbuatan-perbuatan yang dianjurkan Allah SWT dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Ya Allah, kami memohon pada-Mu agar kami memiliki lidah-lidah yang
jujur dan hati yang bersih.











Jika aku jatuh cinta
Rona Fauziah
Jika aku jatuh cinta

Aku akan tulus mencinta

Yang utama bukan harta ataupun tahta

Tapi dari akhlak dan hati yang tertata


Jika aku jatuh cinta

Ku ingin hidupku lebih bermakna

Bukan cinta yang penuh dusta dan kebohongan belaka


Jika aku jatuh cinta

Ku tak ingin melakukan kesalahan yang sama

Tapi belajar untuk memperbaiki noda


Jika aku jatuh cinta

Ku ingin cintaku semakin bertambah kepada-Nya

Bukan berkurang atau bahkan melupakan-Nya


Jika aku jatuh cinta

Ku ingin bahagia karenanya

Bukan cinta yang hanya membawa luka


Jika aku jatuh cinta

Ku ingin cinta ini membawaku ke surga

Bukan menjerumuskanku ke dalam neraka


Jika aku jatuh cinta

Ku ingin hanya keridhaan-Nya yang ada

Bukan kemurkaan-Nya







Suatu ketika sahabat Bilal bin Rabah RA terlibat pertikaian dengan Abu Dzar RA. Abu Dzar melontarkan perkataan yang sangat menyakitkan hati Bilal. “Wahai anak wanita hitam.” Bilal lalu mengadukan kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW. Dan, Rasulullah pun memanggil Abu Dzar guna mengklarifikasi kejadian tersebut. Lalu, Rasul menasihatinya dan Abu Dzar merasa dia telah berbuat salah dan zalim kepada sahabat seperjuangannya.

Saat itu juga, Abu Dzar mencari keberadaan Bilal. Sesampainya di hadapan Bilal, Abu Dzar meletakkan pipinya di atas padang pasir di bawah teriknya matahari sambil berkata, “Wahai sahabatku, aku rela engkau menginjak pipiku ini demi memperoleh maaf darimu atas perbuatan zalim yang telah aku perbuat.” Namun, ketika itu Bilal merogoh tangan Abu Dzar. “Aku telah memaafkanmu wahai sahabatku.” Sungguh indah akhlak yang diperlihatkan kedua sahabat Rasulullah SAW.

Dalam menjalani hidup sosial bermasyarakat, manusia tidak pernah lepas dari sebuah kesalahan, entah itu terhadap tetangga, kawan, ataupun rekan kerja. Kesalahan adalah suatu hal yang wajar ketika kita berinteraksi dengan sesama. Namun, ketika kita bisa menyikapi kesalahan tersebut dengan suatu proses saling maaf dan memaafkan, itulah yang luar biasa. “Setiap anak Adam tidak luput dari kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” (HR Tirmidzi).

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.” (QS al-A’raf: 199). Dalam ayat tersebut Allah SWT mengabarkan kepada umat Muslim bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan di atas muka bumi ini.

Tiga konsep yang Allah berikan kepada kita. Pertama, jadilah pemaaf. Ketika proses saling maaf dan memaafkan sudah menjadi habit (kebiasaan) dalam masyarakat, sungguh masyarakat tersebut akan menjadi suatu masyarakat yang harmonis, mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) menaungi mereka.

Kedua, mengimbau kepada kebenaran. Di kala rasa cinta dan kasih menaungi kehidupan mereka, di sana akan terjalin suatu interaksi yang harmonis dan mereka akan mengoreksi sahabatnya yang berbuat kesalahan.

Ketiga, berpaling dari orang-orang bodoh. Ketika suatu masyarakat sudah menjadi masyarakat harmonis dan religius, sungguh mereka akan berpaling dari perilaku orang-orang yang bodoh, perilaku yang kering akan hal-hal yang bermanfaat. Dan, seperti inilah seorang Muslim, “meninggalkan suatu hal yang tak berguna adalah kebaikan bagi seorang Muslim.”

Pantaskah seorang dewan legislatif adu jotos karena suatu hal sepele, padahal mereka adalah wakil-wakil rakyat? Pantaskah suatu kelompok agama menghujat kelompok lainnya demi kepentingan segelintir orang, padahal mereka berdiri di atas agama yang sama.

Masyarakat yang sarat akan nilai-nilai cinta dan kasih bermula dari suatu proses yang sangat agung, yaitu saling maaf dan memaafkan. “Orang-orang penyayang akan disayang oleh Allah yang Maharahman. Sayangilah penduduk bumi, maka kalian akan disayangi oleh Allah.” (HR Ahmad). Wallahu a’lam.




















Berihsan dalam Kekuasaan
Senin, 09 April 2012, 12:15 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Prof Asep S Muhtadi

Suatu ketika Jibril bertanya kepada Rasulullah SAW tentang iman, Islam, dan ihsan. Setelah Nabi menjelaskan tentang iman dan Islam, Jibril pun bertanya, ”Apakah ihsan itu?”

Lalu Nabi menjelaskannya, ”Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Makna inilah yang kemudian menjadi definisi “ihsan”  dan sangat populer digunakan, baik dalam kehidupan maupun hanya sebatas sumber referensi. Secara implisit makna tersebut mengisyaratkan pentingnya ikhlas sebagai faktor utama dalam beramal, seperti terungkap pada kalimat “seakan-akan engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Dalam kerangka inilah, kerja-kerja kemanusiaan, termasuk usaha mencari nafkah seperti petani berladang di sawah, pedagang pergi ke pasar, karyawan bekerja di kantor, guru mengajar di sekolah, atau pemerintah melayani rakyatnya, dapat dinilai sebagai perbuatan ibadah.

Ibadah menjadi demikian luas makna dan bentuknya. Karena itu, bukan sesuatu yang menyulitkan bila tugas manusia memang hanya untuk beribadah, yaitu ibadah dalam cakupan makna yang sangat luas.

Dengan demikian, ihsan merambah segala ikhtiar yang mencakup seluruh dimensi kehidupan, baik ritual maupun sosial. Ihsan harus hadir dalam setiap tindakan.

Dalam shalat, misalnya, ihsan akan meluruskan motivasi dan kekhusyukan; dalam zakat, ihsan akan menjadi identitas pengabdian terhadap sesama manusia untuk tulus menolong kaum yang lemah, menjalin ukhuwah, sekaligus membangun solidaritas dengan sesama.

Demikian pula dalam menjalankan roda kekuasaan, ihsan sejatinya tetap hadir sebagai kekuatan moral yang dapat menggerakkan seluruh potensi spiritual manusia untuk berbuat hanya karena Allah.

Sebaliknya, dimensi sosial selalu menyertai ihsan karena pada gilirannya ia akan melibatkan proses hubungan antarsesama manusia sebagai makhluk sosial yang satu sama lain saling membutuhkan. Jadi, dalam hubungan seperti itulah, ihsan akan terlibat bersama-sama dengan iman dan Islam yang telah menjadi keyakinan para pelakunya.

Di sinilah ihsan menjadi potret sempurnanya akhlak. Yaitu, kebajikan yang telah mentradisi dalam setiap perilaku, memberikan nuansa moral dalam setiap amal, dan menjadi alat kontrol dalam setiap pengambilan keputusan.

Tidak ada ruang sedikit pun dalam beramal untuk memanjakan apa pun selain Tuhan. Dalam proses kekuasaan, rakyat hanyalah jembatan yang menghubungkan penguasa dengan Tuhannya.

Kekuasaan yang sifatnya sangat sementara juga tidak lebih dari sekadar fasilitas pengabdian hanya kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan penghargaan ataupun pujian dari rakyatnya, dan bukan pula untuk kepentingan pencitraan di hadapan masyarakatnya.

Ihsan akan membimbing kita untuk memperoleh kesempurnaan citra di hadapan Tuhan. Karena itu, berbuatlah dengan tulus, hindari motif-motif pragmatisme yang hanya akan mengorbankan kepentingan orang banyak. Berihsanlah dalam segala bentuk perbuatan, termasuk dalam menjalankan roda kekuasaan.












Ampunan dan Afiat

Selasa, 24 April 2012, 12:18 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori

Diriwayatkan dari Abbas bin Abdul Muthalib RA, ia berkata, “Aku memohon kepada Rasulullah SAW. “Ajarilah kepadaku sesuatu yang digunakan untuk berdoa kepada Allah.” Maka, beliau menjawab, “Wahai Abbas, paman Rasulullah SAW, mintalah kepada Allah afiah (keafiatan) di dunia dan akhirat.” (HR Tirmidzi).

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Tiadalah suatu yang diminta seorang hamba dari Allah yang lebih dicintai daripada meminta afiah.” (HR Tirmidzi).

Dalam kitab Al-Hishnul Hashiin, al-Jazari berkata, doa Rasulullah SAW untuk meminta afiat merupakan hadis mutawatir, baik lafaz maupun maknanya, yang datang kepada kita melalui 50 jalan. “Mohonlah ampunan dan afiat kepada Allah karena seseorang tidaklah diberi sesuatu yang lebih baik setelah keimanan dari afiat.”

Afiat adalah dukungan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya untuk bisa menunaikan perintah-Nya, menerima qadha dan qadar-Nya dengan rida dan berserah diri. Dukungan Ilahi ini bisa berupa kesehatan jasmani dan rohani, rezeki halal, taufik, dan hidayah Allah. Orang yang meminta afiat berarti meminta dukungan atas apa yang niat dikerjakannya.

Doa ini merupakan bekal untuk menolak bahaya dan menarik semua kebajikan. Ibnu al-Jauzi mengatakan, orang yang berbahagia adalah orang yang merendah di hadapan Allah dan selalu memohon afiat. Karena, afiat tidak akan diberikan tanpa ujian.

Seorang yang berakal akan selalu meminta afiat untuk mengalahkan semua ujian dalam semua situasi dan kondisi. Dan, kita memerlukan kesabaran untuk menghadapi ujian sekecil apa pun. Seseorang tidak akan mencapai rida Allah tanpa ujian.

Sabar hakiki akan terwujud saat kita menerima semua takdir Ilahi. Dan, ketentuan Ilahi jarang yang datang seirama dengan keinginan nafsu kita. Orang cerdas adalah yang mampu menguasai nafsunya melalui kesabaran yang dijanjikan berpahala besar.

Al-Manawi mengatakan, maksud hadis “Mohonlah ampunan dan afiat” adalah larangan untuk meminta bala dan ujian. Ampunan adalah penghapusan dosa, sedangkan afiat adalah keselamatan dari sakit dan bala.

Afiat itu mencakup di dunia dan akhirat. Karena kesalehan seorang hamba tidak akan sempurna kecuali dengan ampunan dan keimanan yang meyakinkan. Keimanan ini yang mampu menolak siksa akhirat. Sedangkan, afiat menolak penyakit dunia yang ada dalam hati ataupun di badan.

Oleh karena keafiatan di dunia merupakan nikmat Allah yang besar, orang yang mendapatkannya wajib menjaganya dan melindunginya dari hal-hal yang merusak. Dalam hal perintah doa afiat kepada Abbas yang dianggap sebagai orang tuanya, terdapat dorongan kepada kita agar membiasakan diri untuk memohon afiat kepada Allah.

Al-Mubarokfuri berkata, “Perintah Rasul SAW kepada Abbas untuk memohon keafiatan merupakan dalil tegas bahwa memohon keafiatan adalah doa yang tiada tandingannya bila dibandingkan doa-doa lain.







Mukmin vs Munafik

Senin, 23 April 2012, 12:17 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Prof KH Didin Hafidhuddin

Di dalam Alquran surah at-Taubah [9] ayat 71 dan 72 Allah SWT menjelaskan karakter dan perilaku orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, serta balasannya dalam kehidupan di dunia ini maupun di akhirat nanti.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) men jadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang mak ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS [9]: 71).

Sedangkan pada ayat sebelumnya, yaitu surah at- Taubah [9] ayat 67 dan 68, Allah SWT menerangkan sifat dan kelakuan orang-orang munafik (laki-laki maupun perempuan) yang bertentang an secara diametral dengan kelakuan orang-orang yang beriman, serta balasan yang akan mereka terima di dunia ini maupun di akhirat nanti. “Allah mengancam orangorang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.” (QS [9]: 68).

Pertama, orang-orang yang beriman selalu berusaha bersinergi ( al-Wala’), berkolaborasi dan saling menolong antara sesama orang-orang yang beriman, atas dasar keimanan, kebajikan, dan ketakwaan. Sedangkan orang-orang yang munafik bersinergi antara sesamanya, hanya untuk kepentingan yang sifatnya sesaat. Landasan sinerginya tidak ada, kecuali hanya keuntungan yang sifatnya material semata.

Kedua, orang-orang yang beriman selalu berusaha dalam hidupnya apa pun posisi dan jabatannya, untuk melakukan kegiatan amar makruf nahi mungkar. Menyuruh, mendorong, dan memelopori pada setiap kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan umat dan bangsa serta berusaha mencegah dari berbagai kejahatan yang menghancurkan, seperti khianat, berdusta, dan perilaku korup. Sebaliknya, orang-orang munafik selalu menyuruh orang lain pada kemungkaran dan kejahatan yang merusak tatanan kehidupan, serta melarang dari perbuatan-perbuatan baik dan konstruktif.

Ketiga, orang-orang yang beriman selalu berusaha menegakkan shalat dengan sebaik- baiknya dan berusaha pula menunaikan zakat, infak, dan sedekah. Kepemurahan adalah watak dan karakter orang-orang yang beriman, sedangkan orang-orang munafik adalah orang-orang yang bakhil dan kikir, tidak mau berkorban maupun membantu orang yang membutuhkan.

Tentu saja balasan bagi orang-orang yang beriman yang memiliki watak dan karakter yang sangat indah tersebut adalah akan mendapatkan rahmat dan pertolongan Allah SWT dalam kehidupannya di dunia ini. Dan, di akhirat kelak akan mendapat balasan surga serta keridaan dari Allah SWT. Sebaliknya, orang-orang munafik, karena perilaku buruknya tersebut, di dunia akan mendapatkan kegelisahan hidup karena jauh dari rahmat Allah SWT. Dan, di akhirat kelak akan mendapatkan azab neraka dan laknat Allah.

Mudah-mudahan kita se mua, orang-orang yang ber iman, akan berperilaku sebagaimana mestinya orang yang beriman dan bukan berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang munafik yang merusak dan menghancurkan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Redaktur: Heri Ruslan






Meneladani Umar bin Abdul Aziz

Minggu, 22 April 2012, 06:10 WIB
.free-extras.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr H Fauzul Iman MA

Suatu hari Umar bin Abdul Aziz menyewa seekor unta dari seorang pemilik unta untuk perjalanan ke luar kota. Di tengah perjalanan yang kanan dan kirinya penuh dengan pepohonan, tiba-tiba serban Umar tersangkut pohon dan jatuh ke tanah. Setelah satu kilometer, Umar baru diberi tahu bahwa serbannya terseret pohon. Lalu, Umar turun dari unta dan berjalan mengambil serbannya.

“Wahai Amirul Mukminin mengapa engkau mengambil sendiri serban itu? Bukankah kita bisa mengambilnya dengan mengendarai unta,” tanya sang pemilik unta kepada Umar terheran-heran. “Tidak, saya menyewa unta hanya untuk pergi bukan untuk kembali,” ujar Umar. “Mengapa engkau tidak menyuruhku mengambilnya,” tanya pemilik unta penasaran. “Tidak juga, karena serban itu bukan milikmu, tapi milikku,” ujarnya dengan mantap.

Kisah di atas menggambarkan keteladanan seorang pemimpin yang patut ditiru dalam memanfaatkan kedudukannya. Meski Umar berkedudukan sebagai khalifah, ia tidak ingin seenaknya memerintah atau memperlakukan rakyatnya tanpa kendali. Baginya, kedudukan bukanlah sekat atau struktur egoisme atau kesombongan, tapi menjadi jembatan untuk memberikan jalan terbaik bagi rakyatnya.

Umar juga tak pernah melampaui batas dalam menggunakan barang milik rakyat ketika dia harus menyewanya. Pendek kata, Umar Abdul Aziz adalah sosok pemimpin lurus (adil) yang tidak semaunya menggunakan tenaga kaum lemah. Ia tidak duduk terlena di atas tahta singgasana.

Umar Abdul Aziz adalah pemimpin yang sangat cepat mencairkan kebekuan rakyat dengan jalan arif dan memudahkan. Pangkat dan kedudukannya tidak menjadikannya jadi penghalang untuk turun ke lapangan guna membantu dan menyelesaikan segala kesulitan yang dihadapi rakyat. “Permudahlah urusan umat manusia dan jangnlah kalian persulit,” sabda Nabi SAW.

Di abad modern ini, justru terjadi perbedaan yang sangat mencolok. Sebagian pemimpin kita masih saja senang berulah. Padahal, segala jabatan telah diraihnya. Harta berlimpah namun tetap saja merasa kekurangan. Kemudian, seenaknya mengambil harta negara. Baik dengan cara korupsi, mark up, mengemplang pajak, dan money laundry (pencucian uang). Bahkan, ada yang mengambilnya dengan cara memeras tenaga kaum lemah (buruh dan TKW).

Tindakan hukum telah dikerahkan untuk mengatasinya. Ironisnya, kejahatan korupsi itu tetap saja menjadi-jadi. Imbasnya justru pemerintahan tidak memiliki wibawa untuk mencegah segala bentuk kriminalitas yang kian menjamur. Bukan hanya korupsi, kekerasan lain seperti pembunuhan sadis, perampokan, bahkan kekerasan geng motor pun semakin meningkat.

Semua itu terjadi karena tiadanya keteladanan kepemimpinan. Di saat rakyat diperintah untuk menghemat energi, para pemimpin justru lebih senang bergelimang kemewahan dengan harta hasil korupsinya. “Negeri yang dahulunya aman dan berlimpah kemahmuran, tiba-tiba ditimpa bencana kelaparan dan ketakutan karena ulah perbuatan para pemimpinnya yang ingkar pada nikmat Tuhan-Nya.” (QS An Nahl: 112).

Redaktur: Heri Ruslan





Oleh Achmad Sjamsudin
  
Melakukan evaluasi diri atau muhasabah memang merupakan tuntunan Islam. Hal itu diungkapkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Hasyr [59]: 18).

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, suatu siang para sahabat sedang bersama Rasulullah SAW. Lalu, datanglah suatu kaum yang keadaannya sangat mempri hatinkan. Wajah Rasulullah berubah ketika melihat mereka. Rasul masuk, kemudian keluar, lalu menyuruh Bilal mengumandangkan azan dan ikamah.

Rasul pun shalat dan kemudian berkhutbah: "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian semua kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu ...." (QS An-Nisaa' [4]: 1). Dan, beliau membaca ayat: "... dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)...." (QS Al-Hasyr [59]: 18).

Seketika itu, seorang sahabat langsung menyedekahkan dinar, dirham, baju, dan kurmanya. Kemudian, secara berturut-turut diikuti oleh para sahabat yang lain, hingga sedekah berupa makanan dan baju itu menumpuk seperti dua anak bukit. Melihat pemandangan yang menyenangkan itu, wajah Rasulullah berbinar-binar.

Lalu, beliau bersabda bahwa siapa yang berbuat baik dia akan mendapat pahala dari perbuatannya dan juga pahala dari orang yang mengikuti kebaikannya itu tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang mengikuti jejak kebaikannya itu. Demikian sebaliknya ketika seseorang berbuat jelek (HR Muslim).

Dari riwayat yang amat inspiratif tersebut, Ibnu Katsir lalu menafsirkan ayat `... dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) ..." tersebut mengandung pengertian: "perhitungkanlah diri kalian sebelum kalian diperhitungkan oleh Allah SWT di hari kiamat kelak, dan perhatikanlah amal saleh apa yang sudah kalian simpan untuk akhirat dan untuk menghadap Tuhan."

Jadi, muhasabah adalah menghitung diri atau bertanya kepada diri sendiri tentang amal saleh yang akan menjadi bekal dalam perhitungan (hisab) Allah SWT pada hari kiamat nanti.
Sebagaimana dialami para sahabat dalam kisah inspiratif di atas, muhasabah akan langsung meng gerakkan kita untuk bersegera mengukir amal saleh atau prestasi. Sebab, dengan muhasabah, kita akan menyadari kebutuhan kita terhadap amal saleh. Bahwa kita sangat membutuhkan amal saleh untuk bekal di akhirat kelak.

Oleh karena itu, marilah pada Tahun Baru 1432 H ini atau 2011 M nanti, kita semua melakukan muhasabah. Kita bertanya pada diri masing-masing, amal saleh apa yang sudah kita lakukan untuk akhirat kita. Sebab, dengan muhasabah itu, kita akan optimistis menghadapi tahun baru. Dan, optimisme itu muncul tiada lain karena karya nyata yang lahir dari kegiatan muhasabah. Wallahu a'lam.














Berhati burung
Mencari rezeki merupakan keniscayaan bagi makhluk yang bernyawa. Allah SWT telah menyediakan bermacam sarana agar rezeki itu mudah didapatkan. Rezeki bahkan tidak hanya disediakan bagi orang yang beriman, tetapi juga untuk mereka yang tak beriman. Khusus bagi hamba yang beriman, Allah mengingatkan bahwa mencari bagian duniawi tidak boleh dilupakan, meskipun keukhrawian harus lebih diprioritaskan.

Dalam mencari rezeki, seorang Muslim tidak hanya dituntut untuk serius dalam bekerja, tetapi juga diajarkan untuk memiliki energi ketawakalan dalam semua aktivitasnya. Tawakal sering kali dipahami sebagai kepasrahan total kepada Allah, yang seolah menafikan usaha. Padahal, ketawakalan sejatinya merupakan sifat hati sebagai bagian keyakinan seorang mukmin bahwa rezekinya sudah ada yang mengatur.

Sikap tawakal akan membuat seseorang tidak ngoyo dan mabuk harta dalam mencari rezeki. Ketawakalan juga yang membuat seseorang menyadari bahwa bila rezekinya susah didapat, berarti Allah sedang menyiapkan takdir lain yang lebih baik untuknya.

Namun, bila rezeki itu dimudahkan, kemudahan itu diyakininya atas anugerah Allah, sehingga dia bersyukur atas karunia itu, bukan malah kufur. Sebab, salah satu ciri tawakal adalah kesiapan jiwa dalam menerima seberapa pun rezeki yang didapat, apakah itu sedikit ataupun banyak.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar seorang mukmin memiliki sikap ketawakalan seperti yang dipunyai seekor burung. “Andai kata kalian benar-benar bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, yaitu keluar dengan perut kosong di pagi hari dan kembali dengan perut kenyang di sore hari.” (HR Tirmidzi).


Apabila berperasaan burung dartikan sesuai hadist sahih yg diatas itu, maka pemiliknya adalah orang yang memiliki ketawakalan total kepada Allah, sebagaimana burung. Burung tidak pernah menyimpan makanan, kecuali dalam paruhnya untuk disuapkan kepada anak-anaknya yang belum mampu mencari makanan sendiri. Burung berangkat mencari makan di pagi hari dalam keadaan lapar, lalu pulang di senja hari sudah dalam keadaan kenyang. Untuk mendapatkan makanan, burung harus berani menghadapi resiko, entah di tangkap oleh manusia lalu disembelih, atau mati karena senjata pulut para petani yang menjaga sawahnya yang hampir panen dari serangan burung.
Ketawakalan total kepada Allah sebagaimana ketawakalan burung ini akan membawa seseorang tidak pernah takut mengahadapi resiko apapun di dunia. Baginya yang paling penting adalah keridhoan Allah terhadap dirinya. Sesudah dia yakin bahwa dirinya mendapatkan keridhaan Allah terhadap maka halangan apapun yang menghadang dia, walau sebesar gunung, tidak dapat menggoyahkan tapak kakinya.
Orang yang memiliki keteguhan hati seperti ini takkan mundur saat dihina orang dan tidak bertambah semangat ketika di puji orang. Itulah tanda orang yang beramal secara ikhlas. Keikhlasan di dalam amalan menjadikan amal yang kecil itu bernilai tinggi, apalagi amal yang besar. Pada saat itulah pelakunya dinyatakan layak untuk masuk syurga.
Tatkala dia memperjuangkan kebenaran maka dia akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan walau puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan orang menentangnya. Tekadnya memperjuangkan kebenaran takkan padam, walau rintangan datang bergelombang menerpa dirinya. Inilah karakter orang yang pantas menghuni surga.
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa yang di maksud dengan perasaan yang seperti perasaan burung itu adalah dalam hal kelembutannya dan kelunakannya. Ulama’ lainnya menerangkan bahwa yang di maksud adalah hati yang takut kepada Allah, karena burung adalah binatang yang paling takut kepada Allah. Selanjutnya rasa takut kepada Allah itu mendominasi diri mereka.
Ulama’ yang lainnya lagi menyatakan bahwa yang di maksud ‘hati mereka seperti hati burung’ itu adalah ketawakkalan mereka sangat tinggi kepada Allah.





Nabi juga menjadikan “berhati burung” sebagai salah satu syarat untuk bisa masuk surga. “Akan masuk surga orang-orang yang berhati seperti burung.” (HR Muslim).
Pemilihan burung sebagai tamsil pada kedua hadis tersebut, tentu bukan tanpa alasan. Ternyata, berdasarkan penelitian para ahli, untuk mendapatkan rezekinya hewan ini diketahui harus melakukan migrasi hingga ribuan mil.

Namun, semua itu dilakukan dengan efektif dan efisien. Hewan ini mampu mengalkulasi berapa energi yang diperlukan, bagaimana melakukan penerbangan yang aman, berapa jarak tempuh dan jumlah bahan bakar yang harus disediakan, juga bagaimana kondisi cuaca di udara. Ia yakin hari itu pasti ada rezeki untuknya, meskipun harus dicari hingga ke tempat yang sangat jauh. Setelah mendapatkannya, ia pun tidak lupa untuk kembali ke sarangnya.

“Saat kamu bertekad (melakukan sesuatu) maka bertawakallah pada Allah.” (QS Ali Imran [3]: 159). Allah SWT pula yang menjamin rezeki orang yang bertawakal. “Orang yang bertawakal kepada Allah akan dicukupkan rezekinya.” (QS Al-Thalaq [65]: 3).

Selaras dengan perintah Allah itu, Nabi diketahui mempraktikkan ketawakalan dalam kehidupan sehari-harinya. Nabi SAW bekerja, lantaran bekerja merupakan sunahnya. Karenanya, menurut al-Qusyairi (ulama abad ke-10 Hijriah), bila ingin mencontoh keseharian Nabi, seseorang tidak boleh melupakan sunahnya.
























Inilah Bangsa Pengejar Kuantitas

Hidup mengejar kuantitas yang diukur dengan angka atau jumlah bukanlah hal yang dilarang. Boleh saja setiap manusia mengejar statistika hidup dengan mengumpulkan dan menghitung aneka rupa harta milik yang serbawah.

Seperti rumah besar, kendaraan mewah, kebun yang luas, pabrik besar (perusahaan), dan memiliki sejagat kuantum simbol seperti gelar dan pangkat. Namun, semua itu menjadi absurd bila yang bernama simbolitas angka itu tidak interaktif dengan nilai-nilai kehi dupan umat. Agama mengajarkan perlunya umat manusia membangun hubungan dengan Allah dan men jaring kepedulian terhadap sesamanya.

Mengomentari (QS [3]: 112), Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa umat manusia akan terempas selamanya dalam penderitaan (kehinaan) manakala sisi kehidupannya lebih mengutamakan hubungan material simbolis ( al-mu’amalah al-ramziyah). Sementara hubungan esensial (al-mu’amalah al- Madzmuniyyah) berupa komitmennya dengan perintah Allah terabaikan.

Kecendrungan hidup mengejar “material simbolis” (angka) ketimbang kualitas tampaknya telah merasuk kepada sebagian elite bangsa. Demi gengsi mereka mengejar tren hidup modern berupa harta dengan mengukir gaya konsumtif. Dari sisi kuantum kemewahan, mereka memang bangsa yang tengah mencapai puncak sukses. Namun, dari sisi interaksi dan komitmennya menegakkan kondusivitas, kohesivitas, dan kualitas kehidupan sosial patut dipertanyakan.

Fenomenanya dapat kita rasakan bagaimana karut-marutnya bangsa yang berada di tepi keresahan sosial dalam menggenggam keadilan dan kesejahteraan hidup. Akibatnya, di berbagai tempat terjadi kemerosotan indek kepuasan masyarakat yang berujung pada konflik mengerikan, seperti di Mesuji dan Bima. Belum lagi kasus penegakan hukum yang hingga kini masih dirasakan menjepit rakyat kecil. Ini menunjukkan betapa rapuh dan limbungnya sebagian kualitas elite bangsa dalam mengatasi keresahan masyarakat.

Peristiwa ini amat menyakitkan rakyat karena ternyata para pengejar kuantitas dari kalangan elite bangsa itu tak bernyali (lumpuh) mengatasi penderitaan rakyat. Ke mana saja nyali kemewahan mereka itu bersembunyi. Justru mereka lebih mampu mengatasi dirinya sendiri lewat simbol dan angka-angka kuantitas kemewahan dan kekuasaan. Namun, dengan kemewahan itu sebenarnya mereka telah menanggung “dosa sosial” lantaran tega membiarkan rakyat dalam kondisi kehidupan menderita dan tertindas.

Bagi para pengejar kemewahan (kuantitas), sadarlah bahwa kemewahan yang telah Anda genggam bukan mutlak milik sendiri. Tetapi, Allah yang telah memberikan kemewahan itu melalui rakyat kecil (buruh) yang telah bersusah payah membantu jabatan dan perusahaan Anda.

Oleh karena itu, agar Anda selamat, keturunan Anda bahagia, dan kondisi bangsa keluar dari jeritan penderitaan, perkuatlah hubungan Anda de ngan Allah dan umat. Kejarlah harta itu dengan jalan yang benar dan halal lalu berdayakanlah harta tersebut untuk membangun umat menuju kualitas kemakmuran, keja yaan, dan kedamaian bangsa. Jangan sampai masa tua Anda bernasib amat menge naskan. (QS [2]: 266)











nilah Lima Energi Kebugaran Rohani

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nur Suharno*

Setiap orang mendambakan kebugaran. Kebugaran sebagai energi kekuatan manusia untuk melaksanakan segala bentuk kebaikan (al-khair) dan mencegah kemungkaran (asy-syar).

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang bermanfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, ‘Seandainya aku berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain’.” (HR Muslim).

Energi itu tidak datang tiba-tiba, tetapi perlu upaya dan pengorbanan. Karena itu, untuk menghasilkan kebugaran jasmani, seseorang dapat berolahraga secara rutin (HR Dailami), mengonsumsi makanan yang halal dan bergizi (QS al-Baqarah [2]: 168), serta istirahat yang cukup. (QS an-Naba’ [78]: 9).

Sedangkan untuk menghasilkan energi kebugaran rohani, hendaknya seseorang mendawamkan (membiasakan) berbagai amalan positif. Di antaranya, pertama, berusaha keras untuk mendirikan shalat tahajud. Sebab, salah satu kemuliaan seseorang itu terletak dari shalat tahajudnya.

Dalam hal ini, Allah sudah menegaskan, tentang kemuliaan dari shalat tahajud. Rasul SAW juga senantiasa mendirikan shalat tahajud. “Hendaklah kalian terus melakukan shalat malam (tahajud), karena ia merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, juga menjadi sarana pendekatan diri kepada Rabb kalian, menghapuskan kesalahan dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR Tirmidzi).

Kedua, membiasakan membaca Alquran, karena ia merupakan sumber ketenangan bagi seorang Mukmin. “Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS al-Isra’ [17]: 82).

Ketiga, memelihara kesempurnaan shalat, karena ia merupakan tali penghubung antara seorang hamba dan Tuhannya. Kesempurnaan shalat terletak pada kekhusyukan. Dengan shalat yang khusyuk, niscaya akan terbukalah kunci-kunci pintu hati, dan bersinar cahaya keimanannya. “Dan dijadikan mataku sejuk dalam shalat.” (HR Nasai).

Keempat, menjaga shalat Dhuha, karena ia menjadi kunci pelancar rezeki. Rasulullah SAW bersabda, “Pada setiap pagi ada kewajiban atas setiap orang untuk bersedekah dan cukuplah ia menggantinya dengan mengerjakan dua rakaat Dhuha.” (HR Abu Dzar).

Kelima, senantiasa bersedekah setiap hari meskipun hanya dengan sekuntum senyuman. Sebab, ia menjadi penyubur kasih sayang. Sedekah adalah amalan yang sangat mulia. Ia dapat membersihkan diri dari sifat-sifat yang buruk dan menyuburkan sifat kasih sayang dalam diri manusia, selain itu di sisi Allah terdapat pahala yang besar.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 261). Wallahu a’lam.









Tahajud Cinta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Toto Tasmara

Rasulullah SAW adalah manusia yang tak pernah meninggalkan shalat malam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Qois, ia berkata, “Aisyah RA berkata kepadaku, ‘Janganlah engkau meninggalkan shalat malam sebab Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya. Apabila sakit atau lelah, beliau shalat dengan duduk.” (HR Abu Dawud).

Suatu saat orang-orang di Madinah ingin melihat wajah sejuk Rasulullah dan menyaksikan sosok manusia yang tidak pernah berdusta sepanjang hidupnya. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah menyampaikan pesan kepada orang yang hadir. “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan orang yang fakir, sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah pada malam hari ketika orang-orang tidur lelap agar kalian masuk surga dengan selamat.” (HR Tirmidzi).

Bagi orang-orang yang haus akan dahaga menggapai rida Ilahi, yang rindunya tak terperikan mengharap taman surgawi, shalat tahajud seakan sebuah kewajiban. Karena mereka mengartikannya sebagai sebuah perintah. “Dan pada sebagian malam, bertahajudlah sebagai ibadah tambahan bagimu, semoga Tuhanmu akan mengangkat ke tempat terpuji.” (QS [17]: 79).

Tiada kelezatan melaksanakan shalat malam kecuali Allah akan menempatkan diri manusia di tempat mulia (maqamam mahmuda). Para penempuh jalan kemuliaan itu, bangun pada sepertiga malam sampai menjelang fajar untuk menumpahkan hasratnya beraudiensi dan bertatap batin dengan Allah SWT.

Ketika tengah malam pekat membuai lelap, seakan mereka merintihkan segala harapan, seraya berharap petunjuk Allah. “Wahai Ilahi, Engkaulah pelita yang menerangi hamba-hamba yang tersesat di lembah kegelapan. Engkaulah petunjuk para musafir yang tersesat di padang pasir. Engkaulah mutiara yang tersembunyi dan terus kuselami, betapa pun ombak gelombang menggulung dan mengempas tubuhku. Inilah air mataku yang memburai dari hatiku yang basah. Setiap tetesan air mataku adalah harap cemas, penyesalan tiada tara akan dosa-dosaku, dan berharap akan maghfirah (ampunan)-Mu.”

Dalam tahajud, tidak ada lagi permohonan yang mendunia, tetapi yang ada hanyalah desah rindu untuk berjumpa dengan Allah semata (liqa'a li robbihi). Cinta telah memikat hati mereka untuk terbang membubung mencari Sang Pemilik Cinta. Jiwanya melayang menjulang bagaikan serpihan kapas tertiup angin pagi diiringi petikan dawai halus yang mendendangkan hasrat kerinduan tak terperikan, seraya berkata, “Wahai Tuhanku, Engkaulah segala akhir dari tujuanku, Engkaulah yang selalu kurindu dalam pencarianku.”

Cinta mereka yang makrifat telah merenggut seluruh perhatiannya hanya kepada Allah sehingga tidak lagi ada ruang kosong untuk dendam dan benci. Cinta tak mengenal itu semua, yang ia kenal hanya memberi, bukan meminta. Betapa pun rombongan dendam dan benci berkendaraan emas kencana, merayu mampir barang sejenak. Akan aku katakan kepada mereka, "Wahai musafir yang tersesat, kamar-kamar di hatiku telah penuh oleh tamu-tamu cinta. Tidak mungkin aku mengusirnya karena mereka akan tinggal sepanjang hidupku.”










Inilah Nilai-Nilai Shalat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imam Nur Suharno

Peristiwa Isra Mi’raj menjadi bukti perjalanan Nabi SAW menembus dimensi waktu dan tempat, dalam rangka menerima langsung perintah shalat dari Allah SWT, tanpa melalui malaikat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan shalat bagi kehidupan kaum Muslimin.

“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Isra’ [17]: 1).

Peringatan Isra Mi’raj merupakan momentum bagi kaum Muslimin untuk mengevaluasi kualitas dan mengambil pelajaran (ibrah) dari nilai-nilai shalat. Sehingga, shalat yang dilakukan mampu mengubah seseorang menjadi lebih bermakna dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Di antara nilai-nilai shalat itu adalah pertama, shalat mendidik untuk menyucikan diri dari sifat-sifat buruk. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45).

Kedua, shalat mendidik kesatuan dan persatuan umat. Orang shalat menghadap ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah. Hal ini menunjukkan pentingnya mewujudkan persatuan dan kesatuan umat. Perasaan persatuan ini akan menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi antarsesama.

Ketiga, shalat mendidik disiplin waktu. Setiap yang shalat selalu memeriksa masuknya waktu shalat, berusaha menunaikannya tepat waktu, sesuai ketentuan, dan menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan duniawi.

Keempat, shalat mendidik tertib organisasi. Menyangkut tertibnya jamaah shalat yang baris lurus di belakang imam dengan tanpa adanya celah kosong (antara yang satu dan jamaah di kanan kirinya) mengembalikan kaum Muslimin pada perlunya nidzam (tertib organisasi).

Kelima, shalat mendidik ketaatan kepada pemimpin. Mengikuti gerakan imam, tidak mendahuluinya walau sesaat, menunjukkan adanya ketaatan dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintahnya, selama perintah itu tidak untuk bermaksiat. “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR Ahmad).

Keenam, shalat mendidik keberanian mengingatkan pimpinan. Jika imam lupa, makmum mengingatkannya (membaca subhanallah), hal ini menunjukkan keharusan rakyat untuk mengingatkan pemimpinnya jika melakukan kesalahan.

Ketujuh, shalat mendidik persamaan hak. Pada shalat berjamaah, dalam mengisi shaf tidak didasarkan pada status sosial jamaah, tidak pula memandang kekayaan atau pangkat, walau dalam shaf terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak tanpa memedulikan tinggi kedudukan maupun tua umurnya.

Kedelapan, shalat mendidik hidup sehat. Shalat memberikan kesan kesehatan, yang diwujudkan dalam gerakan di setiap rakaat, yang setiap harinya minimal 17 rakaat secara seimbang. Hal ini merupakan olahraga fisik dengan cara sederhana dan mudah gerakannya.

Jika nilai-nilai shalat tersebut di atas diejawantahkan dalam kehidupan setiap Muslim maka tidak menutup kemungkinan perubahan ke arah yang lebih baik akan dapat terwujud.







'Umat Islam Perlu Pelajari Sirah Rasulullah'

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof Komaruddin Hidayat, mengatakan, umat Islam perlu mempelajari sejarah Nabi Muhammad Shallallahu'Alaihi Wassalam. Imbauan ini dikatakan Komaruddin agar kaum Muslim, khususnya di Indonesia lebih memahami ajaran yang dibawa Rasulullah.

"Umat Islam perlu mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad, karena ayat dan hadits yang turun merupakan elaborasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi semasa hidup beliau," ujar Komaruddin dalam acara peluncuran buku karya Muhammad Fethullah Gulen, 'Cahaya Abadi Muhammad Shallallahu'Alaihi Wassalam', di Jakarta, Selasa (29/5).

Dikatakannya, selama ini umat Islam kurang mempelajari sejarah hidup Rasulullah SAW. Sehingga banyak ceramah agama yang mengutip hadis namun tidak berkaitan peristiwa hidup Nabi. "Untuk itu perlu memahami sejarah Rasullullah karena antara ayat dan hadis menyatu dalam peristiwa," sebut Komaruddin.

Komaruddin menyebut, banyak para ahli yang mengatakan tidak ada sejarah Nabi Muhammad yang lengkap, selain sejarah Nabi Muhammad karena menjelaskan mulai dari lahir hingga wafat. Padahal, "Semuanya lengkap, tidak ada yang ditutup-tutupi," katanya.

Komaruddin juga mengatakan, meskipun banyak mazhab dalam Islam, namun jika Nabi Muhammad dihina maka semuanya langsung bersatu. "Tidak ada sosok yang paling dicintai selain Nabi Muhammad," tambahnya.

Fethullah Gulen adalah seorang penulis, cendekiawan, pemikir, penyair, pemimpin, dan aktivis pendidikan Turki, yang mendukung dialog antaragama, budaya, pendidikan, demokrasi dan spritual. Gulen menentang kekerasan dan konflik.

Pada Mei 2008 Fethullah Gulen termasuk dalam 100 orang intelektual terkemuka di dunia berdasarkan Foreign Policy Magazine. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa. Di Turki sendiri, buku tersebut dijual lebih dari 1,5 juta kopi.

















Tiga Musuh Allah di Hari Akhir

Senin, 11 Juni 2012, 15:06 WIB
Oleh: Ina Salma F
Dalam sebuah Hadis Qudsi, Allah SWT berfirman, “Ada tiga golongan di hari kiamat nanti yang akan menjadi musuh-Ku. Barangsiapa yang menjadi musuh-Ku, maka Aku akan memusuhinya. Pertama, seorang yang berjanji setia kepada-Ku, namun mengkhianatinya. Kedua, seorang yang menjual orang lalu memakan hasil penjualannya. Ketiga, seorang yang mempekerjakan seorang buruh, namun setelah pekerja tersebut menyelesaikan pekerjaannya, orang tersebut tidak memberinya upah.” (HR. Ibnu Majah).
Hadis Qudsi di atas menyiratkan beberapa adab dan kesalehan baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, berarti kesalehan manusia di hadapan Rabb semesta alam. 
Sedangkan secara horizontal, berarti kesalehan sosial hamba Allah yang harus ditunaikan pada sesamanya. Allah membuka Hadis Qudsi, bahwa yang pertama termasuk tiga golongan yang kelak akan menjadi musuh Allah adalah orang yang ingkar janji.
Dalam Islam, janji dianalogikan sebagai sebuah hutang. Konsep al-wa’du dainun (janji adalah hutang) menjadi penting sebab hutang harus ditunaikan (dilunasi). Sedangkan orang yang mengingkari janji, dalam sebuah hadis termasuk dalam kategori orang munafik. Beberapa ciri orang munafik: pendusta, pengingkar janji, dan pengkhianat. 
Perintah menunaikan janji, Allah berfirman, ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya...” (QS. An-Nisaa’: 58). Atau dalam hadis, ”Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.” (HR. Ahmad dan Al-Bazzaar).
Perintah melaksanakan amanah dan menunaikan janji berarti bukti bahwa manusia tersebut menjaga hak-hak baik kepada Tuhannya maupun sesamanya. Sedangkan hadis tersebut berarti bahwa yang diperintahkan Allah kepada kita adalah bukti iman, sedangkan lawannya, yaitu mengkhianati amanah, merupakan bukti kemunafikan. 
Golongan kedua, yakni golongan yang menjual orang lalu memakan hasil penjualannya. Golongan ini mengingatkan kita kembali akan praktik perbudakan yang telah terjadi sejak zaman pra Islam. 
Adapun korban orang yang diperjualbelikan ialah para budak perempuan. Budak perempuan kala itu diperdagangkan dengan harga murah. Tidak sedikit dari mereka yang dipaksa melacurkan diri oleh para majikannya. 
Dalam konteks kekinian, praktik perbudakan itu terorganisir secara rapi dan lebih mengerikan sebab terjadi pada orang yang merdeka atau lebih dikenal dengan istilah human trafficking. Praktik pemaksaan budak untuk melacurkan diri ini tertera dalam Surah An-Nuur ayat 33.
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, padahal mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan siapa saja yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (terhadap mereka yang dipaksa) sesudah mereka dipaksa itu,” (QS An-Nisaa; 24: 33).
Golongan ketiga yang kelak akan menjadi musuh Allah ialah seorang atasan yang tidak menunaikan kewajibannya. Kewajiban tersebut berupa penunaian hak-hak pekerja dengan memberinya gaji (upah). Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak, tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin.
Nabi SAW bersabda, "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). 
Bekerja dalam Islam, diartikan sebagai bentuk pengabdian seseorang baik pada Tuhan maupun bentuk usahanya untuk mendapatkan penghasilan, sehingga ia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadis: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).
Semoga kita semua terhidar dari ketiga golongan tersebut dan senantiasa berusaha menunaikan amanah dalam tiap sendi kehidupan, baik terhadap Allah maupun sesama. Wallahua’lam bish shawwab.

Persiapkan Diri Menyambut Ramadhan!

Posted by SALAFIYUNPAD™
Oleh Ustadz Muhammad Nur Ichwan Muslim
Wahai kaum muslimin, hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak disyukuri meski oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.
Bersyukurlah atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan.
Ketidaksiapan yang Berbuah Pahit
Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah memaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ], yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan perintah. Akibatnya pun sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut merupakan hukuman atas ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata.[1]
Abu Bakr Az Zur’i menyitir firman Allah ta’ala berikut,
فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣)
“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka katakanlah: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (At Taubah: 83).
Renungilah ayat di atas baik-baik! Ketahuilah, Allah ta’ala tidak menyukai keberangkatan mereka dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada persiapan dan niat mereka yang tidak lurus lagi. Namun, bila seorang bersiap untuk menunaikan suatu amal dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah terlalu mulia untuk menolak hamba yang datang menghadap-Nya. Berhati-hatilah dari mengalami nasib menjadi orang yang tidak layak menjalankan perintah Allah ta’ala yang penuh berkah. Seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman berupa tertutupnya hati dari hidayah.
Allah ta’ala berfirman,
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١١٠)
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 110).
Persiapkan Amal Shalih dalam Menyambut Ramadhan
Bila kita menginginkan kebebasan dari neraka di bulan Ramadhan dan ingin diterima amalnya serta dihapus segala dosanya, maka harus ada bekal yang dipersiapkan.
Allah ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)
“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At Taubah: 46).
Harus ada persiapan! Dengan demikian, tersingkaplah ketidakjujuran orang-orang yang tidak mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambut Ramadhan. Oleh sebab itu, dalam ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan.
Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,
وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.”[2]
Beliau tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.
Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, meeka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,
كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.”[3]
Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah.
Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan,
شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع
“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.”[4]
Sebagian ulama yang lain mengatakan,
السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من العمر
“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tesebut.”[5]
Wahai kaum muslimin, agar buah bisa dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban, semua itu untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban. Tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan Ramadhan, karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan yang sebaik-baiknya.
Jangan Lupa, Perbarui Taubat!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون
“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.”[6]
Taubat menunjukkan tanda totalitas seorang dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin memasuki Ramadhan tanpa adanya sekat-sekat penghalang yang akan memperkeruh perjalanan selama mengarungi Ramadhan.
Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Allah ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nuur: 31).
Taubat yang dibutuhkan bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita bertaubat, lidah kita mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah”, akan tetapi hati kita lalai, akan tetapi setelah ucapan tersebut, dosa itu kembali terulang. Namun, yang dibutuhkan adalah totalitas dan kejujuran taubat.
Jangan pula taubat tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan sementara di luar Ramadhan kemaksiatan kembali digalakkan. Ingat! Ramadhan merupakan momentum ketaatan sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa terdidik untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.
Wahai kaum muslimin, mari kita persiapkan diri kita dengan memperbanyak amal shalih di dua bulan ini, Rajab dan Sya’ban, sebagai modal awal untuk mengarungi bulan Ramadhan yang akan datang sebentar lagi.
Ya Allah mudahkanlah dan bimbinglah kami. Amin.
Waffaqaniyallahu wa iyyakum.
Buaran Indah, Tangerang, 24 Rajab 1431 H.












hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak disyukuri meski banyak orang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.
Bersyukurlah atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan.
Abu Bakr Az Zur’i
Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,
وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.”[2] HR. Muslim: 1156.
Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan, kitab Lathaaiful Ma’arif
كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.”[3]
Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah.
Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan,
“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tesebut.”[5]
Wahai kaum muslimin, agar buah bisa dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban, semua itu untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban. Tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan Ramadhan, karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan yang sebaik-baiknya.








Inilah Hikmah dan Keutamaan Sabar

Minggu, 01 Juli 2012, 21:37 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Orang yang tidak merugi adalah orang yang beriman, beramal saleh, saling berwasiat kebenaran, dan saling berwasiat kesabaran. (QS al-Ashr [103]: 1-3). Sabar merupakan akhlak terpuji yang harus dimiliki setiap Muslim.

Pepatah Arab menyatakan, “Orang yang bersabar akan memperoleh kemenangan.” Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, (karena) Allah itu senantiasa bersama orang-orang yang sabar.” (QS al-Baqarah [2]: 158).

Dari segi bahasa, shabr artinya menahan dan mengendalikan diri agar tidak “dijajah” hawa nafsu dan emosi. Dalam kitab Tahdzib Madarik al-Salikan, Ibnu al-Qayyim mendefinisikan sabar sebagai menahan diri untuk tidak melampiaskan nafsu angkara murka, mengendalikan lidah untuk tidak berkeluh kesah, dan mengontrol anggota tubuh untuk tidak bertindak anarki.

Orang yang sabar tidak hanya bersikap lapang dada saat menghadapi kesulitan dan musibah, tetapi juga teguh pendirian (istiqamah) dalam memperjuangkan kebenaran, dan selalu dinamis dan optimistis dalam meraih masa depan yang lebih baik dan bermakna.

Sabar bisa diklasifikasikan menjadi lima, yaitu sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi kemaksiatan, sabar dalam menerima dan menghadapi musibah, sabar dalam menuntut dan mengem bangkan ilmu, serta sabar dalam bekerja dan berkarya.

Kelima bentuk kesabaran ini berkaitan erat dengan ketahanan mental spiritual, sehingga kesabaran itu selalu menuntut ketahanan jiwa dan kekayaan mental spiritual yang tangguh.

Dalam menuntut ilmu dan berkarya, misalnya, kesabaran sangat diperlukan karena kehidupan ini selalu berproses, memerlukan waktu, dan tidak instan. Ketika “melamar” menjadi murid Khidir, Nabi Musa AS diminta memenuhi satu syarat saja, yaitu sabar.

Dalam banyak hal, ketidaksabaran merupakan awal dari penyimpangan dan kemerosotan moral. Korupsi, misalnya, merupakan wujud dari ketidaksabaran seseorang dalam meraih kekayaan secara halal dan legal. Kemacetan jalan raya sering kali disebabkan oleh ketidaksabaran pengguna jalan untuk disiplin dan antre.

Menurut Ali bin Abi Thalib, sabar itu sebagian dari iman. Nilai sabar itu identik kepala pada tubuh manusia. Jika kesabaran telah tiada, berarti iman dalam diri manusia itu telah sirna.

Sejarah menunjukkan bahwa kemenangan dakwah Islam, antara lain, terwujud karena kesabaran dalam menghadapi berbagai ujian, musibah, dan permusuhan. Tentara Muslim dalam perang Badar yang hanya berjumlah 313 orang berhasil menga lahkan tentara kafir Quraisy yang berjumlah 1.000 orang karena kuatnya kesabaran mereka. (QS al-Baqarah [2]: 249).

Pendidikan kesabaran juga merupakan salah satu cara untuk memperoleh petunjuk Allah SWT, karena orang yang sabar hanya mau mendengar suara hati nurani, bukan mengikuti hawa nafsu dan emosi. (QS as-Sajdah [32]: 24). Sabar berarti kita harus ikhlas, menerima dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Wallahu a’lam.








Ada Apa di Dalam Ka'bah? Inilah Jawabannya

Jumat, 29 Juni 2012, 01:41 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Tak sembarang orang yang bisa memasuki Ka'bah. Oleh sebab itu, banyak yang bertanya, apa sebenarnya yang ada dalam Ka'bah itu ? Apa benar dalam Ka'bah masih tersimpan berhala-berhala zaman dulu sebagaimana yang dituduhkan kaum perusak Islam?

Sebagaimana yang diperlihatkan dokumenter Kerajaan Arab Saudi, isi dalam Ka'bah hanya berupa ruangan kosong. Bahagian dalam Ka'bah terdapat tiga pilar dari kayu gaharu terbaik. Panjang satu pilar sekitar seperempat meter atau setengah meter berwarna campuran antara merah dan kuning. Ketiga pilar ini berjejer lurus dari utara ke selatan.

Pada awal abad ini (tahun 2000-an), bagian bawah ketiga pilar retak yang kemudian diperbaiki dengan diberi kayu melingkar di sekelilingnya. Ketiga pilar ini dibuat atas inisiatif Abdullah ibn Al Zubair tiga abad yang lalu. Meski demikian, ketiganya masih tetap kokoh hingga saat ini.

Atap dalam Ka'bah penuh dengan ukiran-ukiran mengagumkan, selain diberi lampu-lampu indah yang terbuat dari emas mumi dan dari per­hiasan-perhiasan indah lainnya. Lantai Ka'bah dibuat dari batu pualam putih.

Dinding Ka'bah bagian dalam dibalut dengan batu pualam war­na-warni dan dihiasi dengan ukiran bergaya Arab. Terdapat tujuh papan yang menempel di dinding ini yang bertuliskan nama-nama orang yang pernah merenovasi atau menambahkan sesuatu yang batu di dalam Ka'bah atau Masjidil Haram.

Dikatakan bahwa tembok Syadzarwan adalah bangunan tambahan pada Ka'bah yang dikerjakan oleh kaum Quraisy. Menurut mazhab Syafi'i dan Maliki, tembok Syadzarwan termasuk bagian Ka'bah, sehingga jamaah haji yang bertawaf harus berada di luarnya. Pendapat sebaliknya dikatakan oleh mazhab Hanafi. Menurut mereka, tembok Syadzarwan bukan merupakan bagian Ka’bah.

Adapun mazhab Hanbali memilih berada di antara dua pendapat di atas. Menurut mereka, menjauhi tembok itu sangat dianjurkan, tetapi seandainya jamaah melakukan tawaf di dalamnya maka tawafnya tetap sah dan tidak sampai rusak.

Yang jelas, belum diketahui secara pasti kapan pertama kali tembok Syadzarwan dibangun. Setiap kali Masjidil Haram dipugar, tempat-tempat di sekitarnya juga dipugar. Yang pasti, tembok Syadzarwan mengalami pemugaran pada tahun 542 H, 636 H 660 H, dan 1010 H.















Al-Khawarizmi dan Angka Nol

Minggu, 24 Juni 2012, 21:05 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Jangan sepelekan angka nol. Bayangkan, apa jadinya jika deret angka hanya ada sembilan angka (1,2,3,4,5,6,7,8, dan 9) saja tanpa nol? Tentu akan muncul permasalahan- permasalahan, misalnya, dari mana muncul angka puluhan, ratusan, ribuan, jutaan, atau puluhan juta?
Nah, dengan adanya nol, semua permasalahan itu pun terpe cahkan. Berkat angka nol, deret hitung menjadi semakin luas dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Selain fungsinya yang penting, angka nol juga mempunyai sejarah panjang. Dari manakah sebenarnya angka ini berasal? Dan, siapa pula penemunya? Mungkin banyak yang mengira, ilmuwan Eropalah penemunya. Sejatinya, angka nol justru ditemukan oleh ilmuwan Muslim. Dia adalah Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Ia lahir di Khawarizmi (sekarang Khiva), Uzbekistan, pada 194 H/780 M.

Tak banyak informasi yang menjelaskan secara mendalam mengenai sosok dan riwayat hidup Al-Khawarizmi. Tetapi, sejarah singkatnya terdapat dalam kitab Al-Fihrist Ibn an-Nadim, yang juga menjelaskan karya-karya tulisnya.

Di situ disebutkan, Al-Khawarizmi menekuni hampir seluruh pekerjaannya antara tahun 813 hing ga 833. Setelah Islam masuk ke Persia dan Baghdad menjadi pusat ilmu serta perdagangan, banyak pedagang dan ilmuwan dari Cina dan India mendatangi kota tersebut, termasuk Al-Khawarizmi.

Di sana, ia menjadi bagian dari para ilmuwan yang bekerja di Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), sebuah lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang didirikan oleh Ma’mun Ar-Rasyid, khalifah ketujuh Dinasti Abbasiyah. Oleh guru besar studi Islam Temple University AS, Mahmoud Ayoub, Bayt al-Hikmah disebut sebagai institusi pendidikan tinggi pertama di dunia Islam dan juga Barat. Di lembaga ini, Al- Khawarizmi belajar ilmu alam dan matematika, juga terjemahan manuskrip Sanskerta dan Yunani.

Dulu, sebelum Al-Khawarizmi memperkenalkan angka nol, para ilmuwan menggunakan semacam daftar yang membedakan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan seterus nya. Daftar yang dikenal sebagai abakus itu berfungsi menjaga setiap angka dalam bilangan agar tidak saling tertukar dari tempat atau posisi mereka dalam hitungan.

Sistem tersebut berlaku hingga abad ke-12 M, ketika para ilmuwan Barat mulai memilih menggunakan raqm al-binji (angka Arab) dalam sistem bilangan mereka. Raqm albinji menggunakan angka “nol” yang diadopsi dari angka India, meng hadir kan sistem penomoran desimal yang belum pernah digunakan sebelumnya.

Nah, lewat buku pertamanya, Al- Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al- Muqabalah (Ringkasan Perhitungan Aljabar dan Perbandingan), Al-Kha warizmi memperkenalkan ang ka nol yang dalam bahasa Arab yang disebut shifr. Karya monumental itu juga membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat.

Buku itu diterjemahkan di London pada 1831 oleh matematikawan Inggris, Fredrick Rosen, dan selanjutnya diedit dalam bahasa Arab pada 1939 oleh dua matematikawan Mesir, Ali Mustafa Musyarrafa dan Muhammad Mursi Ahmad. Sebelumnya, pa da abad 12, karya ter sebut juga diter- jemahkan oleh se orang mate matikawan asal Chester, Inggris, Robert (Latin: Robertus Castrensis), dengan judul Liber Algebras et Al-mucabola.

Masih pada abad yang sama, buku berbahasa Latin itu kemudian diedit oleh matematikawan asal New York, LC Karpinski. Versi ke duanya, De Jebra et Almucabola, ditulis oleh Gerard da Cremona (1114–1187), matematikawan dan penerjemah asal Italia. Buku yang ditulis Gerard itu disebut-sebut lebih baik dan bahkan mengungguli buku Fredrick Rozen.

Dengan demikian, meski telah diperkenalkan pada pertengahan pertama abad ke-9, angka nol baru dikenal dan digunakan oleh kalangan ilmuwan Barat dua setengah abad kemudian. Menyusul diperkenalkannya angka nol oleh Al- Khawarizmi maka untuk pertama kalinya nol digunakan sebagai pemegang tempat dalam notasi berbasis posisi. Dunia perlu berterima kasih pada ilmuwan yang satu ini karena dengan angka nol yang diperkenalkannya, bilangan 2012 dan 212 dapat dibedakan.

Pada abad ke-12, matematika wan Muslim asal Spanyol, Ibrahim ibn Meir ibn Ezra, menulis tiga risalah mengenai angka yang membawa simbol- simbol India dan pecahan desimal ke Eropa hingga men dapatkan perhatian dari sejumlah ilmuwan di sana. Risalah ber judul The Book of The Number itu menjelaskan tentang sistem desimal untuk bilangan bulat dengan nilai tempat dari kiri ke kanan. Ibn Ezra menggunakan nol dengan sebutan galgal (yang berarti roda atau lingkaran).

Selanjutnya, pada 1247, mate matikawan Cina, Ch’in Chiu-Shao, menulis Mathematical Treaties in Nine Sections yang menggunakan simbol O untuk nol. Dan pada 1303, Zhu Shijie menggunakan simbol yang sama untuk nol dalam karya nya Jade mirror of the Four Elements. Sistem angka tersebut selanjutnya juga berkembang di Eropa.

Al-Khawarizmi, ilmuwan yang berada di balik penemuan besar ma te matika abad ke-9 itu, wafat di Baghdad pada sekitar 850 M






























Inilah 7 Nama Kota Makkah dalam Alquran

Jumat, 29 Juni 2012, 02:52 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Sebagaimana tercantum dalam Alquran, Makkah Al-Mukarramah mempunyai nama lain.
Dari sejumlah nama ini, Alquran menyebut tujuh di antaranya, yaitu:

1. Makkah, sebagaimana tersurat dalam firman Allah Swt, "Dan Dia­lah yang mencegah tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan mencegah tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah. setelah Allah memenangkan kamu atas mereka." (Al-Fath [48]: 24).

2. Bakkah, sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT, "Sesung­guhnya rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia ialah Baitullah yang di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam." (Ali Imran [3]: 96).

3. Umm Al-Qura, sebagaimana tersurat dalam firman Allah Swt, "Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya." (Al-An‘am [6]: 92).

4. Al-balad, sebagaimana tersurat dalam firman Allah Swt, "Aku bersumpah dengan negeri ini (al-balad. Makkah) dan engkau (Muhammad) bertempat di negeri ini (al-balad. Makkah)." (Al-Balad [90]: 1-2).

5. Al-baldah, sebagaimana tersurat dalam firman Allah Swt, "Aku (Mu­hammad) hanya diperintahkan menyembah Tuhan negeri ini (al-bal- dah, Makkah) yang telah Dia sucikan." (Al-Naml [27]: 91).

6. Al-balad Al-amin, sebagaimana tersurat dalam firman Allah, "Demi buah Tin dan huah Zaytun, demi gunung Sinai, dan demi negeri yang aman ini (al-balad al-amin, Makkah)." (Al-Tin [95]: 1-3).

7. Al-balad Al Aminin, sebagaimana tersurat dalam firman Allah Swt, "Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri (Makkah) ini negeri yang aman (al-balad al-Amin)." (Al-Baqarah [2]: 126).









Tidak ada komentar:

Posting Komentar